Selamat pagi!
belakangan ini materi bahasa indonesia saya adalah membuat cerpen.
saya ingin berbagi sebuah cerpen yang saya tulis untuk tugas bahasa indonesia saya. semga dapat memberi inspirasi!
Tentang Bekal yang Diberikan Padaku
***
“Rasya!!!”
Aku terlalu banyak membuang energi
hari ini. Terlalu banyak bermain sepak bola dan berlari mengelilingi lapangan
pada saat jam pelajaran Olahraga.
“apa?” anak perempuan yang kupanggil
berseru galak.
Aku mendekati tempat duduk anak itu,
“Laper”
“terus?” Rasya tetap tak peduli dengan
ekspresi memohonku.
“Ayolah, minta bekal”
Rasya melotot,”enak aja, dari kemarin
bekalku buat kamu terus. Bukannya aku udah bilang kalau bekal ini buat siapa
yang paling cepat bilang ke aku tadi malam?”
“aku nggak bawa bekal, nih, laper
banget… tadi habis main bola sambil latihan, aduduh lapernyaaa”
“Nggak nanya.”
“Yaudah,” aku baru saja mendapat
ide.”eh Rasya”
“apa lagi?” dia terlihat jengkel
padaku.
Aku tersenyum menang,”Hei semuanya!
Mulai hari ini, bekalnya Rasya buat aku! Pokoknya setiap aku butuh, bekal itu
aku klaim jadi milikku! Jadi selama nggak butuh, terserah buat siapapun. Tapi
yang jelas, hari ini bekalnya Rasya buatku! Setuju?”
Beberapa teman hanya menganggap
seruanku angin lalu. Kebanyakan hanya bilang “ya, ya, terserah kamu aja”,”gaje
banget”,”iya Ar, iya” dan semacamnya. Tapi aku serius tentang ucapanku barusan.
Kulihat Rasya menatapku dengan berbagai macam ekspresi. Kombinasi antara kaget,
jengkel dan sebal. Aku membalasnya dengan tersenyum jahil. Coba saja kalu dia
kembali menolak permintaanku.
“yaudah terserah kamu aja. Aku nggak
mau ambil pusing.” Dia mengambil satu
kotak bekal dari tas jinjingnya yang berwarna merah, dan menyerahkannya padaku.
“yey, makasih deh. Nanti kalau aku
menang, kalau diwawancarai media, aku bakal bilang,’ terimakasih kepada teman
saya yang bernama Rasya, yang selalu memberikan bekal pada saya yang penuh
asupan gizi seimbang, berisi karbohidrat,protein, mineral,dan—“ perkataanku
terhenti karena dipukul Rasya menggunakan tempat pensilnya,”berisik, sana pergi
ah”
Aku tertawa, pergi membawa bekal itu
sebelum dilempar Rasya menggunakan botol minum.
***
Pertama kali datang ke sekolah ini
enam bulan yang lalu, aku langsung jatuh cinta pada lapangannya. Itu tidak
seperti lapangan sekolahku dulu. Lapangan disini begitu terlihat segar. Rumput
yang dipangkas teratur, pohon-pohon besar yang memayungi tepi, dan luasnya yang
membuat para siswa, terutama anak-anak perempuan mengeluh. Lapangan ini sangat
cocok untuk latihan. Terutama untuk berlatih lari. Juga sangat nyaman
untuk…tidur dibawah pohon.
Selain lapangan, yang membuatku merasa
diterima disini adalah penghuni kelas. Yah, walaupun tidak semuanya dapat
dicontoh kelakuannya(baca=kelakuan anak SMA), namun karakter para siswa disini
sesuai dengan gaya bertemanku. Juga, ada satu anak yang ingin aku bahas.
Namanya Rasya, anak perempuan yang galak. Dia lumayan pintar dalam akademik,
juga tahu tentang olahraga. Dia anak yang baik. Tapi aku nggak pernah
melihatnya dekat dengan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Ada sesuatu
yang membuatnya terus menjaga jarak.
Dia juga mempunyai kebiasaan unik yaitu selalu
membawa bekal makan siang ganda. Awalnya aku tak abis pikir mengapa dia
melakukannya. Namun setelah dia memberi penjelasan, aku dapaat menerima itu
meskipun dengan banyak pertanyaan. Katanya, dulu saudaranya tinggal dirumahnya,
lalu sekarang tidak lagi. Makanya ibunya terlalu terbiasa membuatkan dua bekal
makan siang. Bekal itu selalu dia beri pada teman-teman yang membutuhkan, atau
teman yang tidak membawa bekal. Dan dia juga menolak segala bentuk pembayaran
untuk itu. Pernah kuusulkan bisnis catering saja, malah dibalas dengan galak.
Dia juga suka pulang sore. Seringkali, setelah aku selesai berlatih, masih
kudapati dia di kelas. Kadang mengerjakan tugas, kadang membaca novel, kadang
menonton film sendirian dengan laptop. Dia selalu menolak untuk pulang bersama
yang lain, dan selalu bersemangat jika ada tambahan pelajaran, kerja kelompok,
ataupun kegiatan sepulang sekolah yang lain. Katanya sih, agar tidak ada
tanggungan setelah pulang kerumah. Tapi jawaban itu hanya berlaku untuk
pertanyaan ‘kenapa kamu mengerjakan tugas
di sekolah?’ dan tidak berlaku untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ‘kenapa kamu menonton film sampai sore?’
‘kenapa kamu tidak pernah pulang awal?’
Mungkin salah satu alasan dia selalu
tidak ramah padaku adalah, aku selalu cerewet bertanya tentang
kebiasaan-kebiasaannya. Memang aku salah, semua orang punya privasi yang tidak
bisa diketahui orang lain. Tapi masalahnya aku sungguh penasaran. Kebiasaan itu
terlalu aneh dimataku.
***
Seperti yang kuduga, anak itu masih di
kelas dengan laptopnya. Dia terlihat begitu serius, jadi aku memilih untuk
mengagetkannya. Kutepuk kedua bahunya pelan dari belakang.
“AA!” Rasya berteriak terkejut, dan
segera memasang ekspresi sebal setelah melihatku.
“menyebalkan,” gerutunya.
Aku tertawa,”salah sendiri menonton
film horror sendirian, udah mau malam lagi”
“sekarang jam berapa?”
Aku melirik pergelangan
tanganku,”setengah enam sore”
“Hah?!
Udah jam segitu?” dia terlihat panik dan terburu-buru membereskan peralatannya.
Aku
hanya melihat tanpa ingin membantu membereskan. Lagian, ini pemandangan langka.
Rasya yang kukenal tidak pernah terburu-buru. “kenapa sih? Biasanya juga pulang
sore”
“iya
tapi nggak pernah sampai jam segini. Aduh gimana, jalan kerumah lewat kuburan.
Kalau gelap nyeremin apalagi tadi habis nonton film begituan”
“salah
siapa nonton horror. Silahkan tanggung sendiri resikonya,” aku berjalan ke
bangkuku. Mulai bersiap pulang.
“doain
aku selamat,” Rasya memasang helm di kepalanya, dia memang membawa motor
sendiri.”aku duluan,Ar”
Aku
mengangguk,”hati-hati”
Setelah
memastikan semua barang sudah masuk kedalam tas, aku melihat sesuatu yang
ganjil. Ada sebuah benda diatas meja yang dipakai Rasya.
Smartphone.
Bagaimana bisa dia meninggalkan hal sepenting ini? Harus kuapakan?
“Ar,
belum pulang?” salah satu teman dari kelas sebelah menyapa di ambang pintu.
“iya
ini mau pulang,” aku berjalan keluar.”ada hape temen ketinggalan. Baiknya
diapain?”
“kira-kira
dia butuh banget hape itu nggak?”
Rasya
sering memainkan hapenya,”iya deh kayaknya”
“anterin
aja, kalau bisa. Takutnya ada hal penting”
“iya
tapi aku nggak tau rumahnya”
“hapenya
siapa sih?”
“Rasya.
Kenal?”
“ooh
Rasya, kita sekelas waktu kelas sepuluh dulu. Aku tau daerah rumanya” lalu dia
menjelaskan arah kerumah Rasya.
“oke
makasih. Aku langsung aja”
Langit
telah menampilkan semburat jingga. Pertanda hari ini akan segera ditutup.
Rumah
Rasya sulit dicari. Perlu lima kali bertanya sampai tahu dimana letak rumah
itu. Aku mamarkirkan motor diluar gerbang. Ada motor yang sering dipakai Rasya sekolah
di halaman, jadi aku yakin ini rumahnya. Aku mengetuk pintu.
“ya?”
seorang wanita sekitar empat puluh tahunan membuka pintu.
“ooh,
teman Rafa ya?”
Entah
aku yang salah dengar,atau beliau yang salah ucap, tapi aku mencari Rasya.
“ehm…
Rasya-nya ada ?”
“ooh,
sini masuk dulu nak” aku mengikuti perintahnya.
“Rafa-nya
belum pulang, katanya ada latihan buat kompetisi lari begitu. Kalau Rasya lagi
diatas. Sebentar, ibu panggilkan”
Aku
tidak tahu tentang siapa itu Rafa dan mengapa ibu ini membicarakannya.
Tak
lama, Rasya datang dan terkejut lagi melihatku.
“Rasya,
kamu temenin temannya Rafa dulu sampai dia pulang ya. Biasanya bentar lagi juga
pulang.Rafa itu suka pulang sore. Biasnya dia pulang bareng Rafa tapi hari ini
malah Rasya pulang duluan,hehehe, Ibu kebelakang dulu.”
Aku
semakin bingung. Dan kulihat ekspresi Rasya menjadi muram.”tidak usah
membicarakan Rafa di depan temanku Ma,”
Tapi
mamanya Rasya sudah terlanjur kebelakang.
Rasya
menatapku.”kamu ngapain kesini?”
“ekhm..
main aja” sepertinya dia belum menyadari kalau ada barangnya yang tertinggal.jadi
kujahilin sekalian.
Rasya
berdecak,”bohong. Kurang kerjaan banget sore gini cuma main. Pasti ada urusan
kan?”
Aku
tersenyum,”iya”
“apa?”
“coba
tebak,”
“aku
serius Arda, dan kalau urusanmu udah selesai silahkan pulang” Rasya berkata
serius. Ada sesuatu yang membuatnya tidak suka jika aku lama-lama disni, atau,
ada sesuatu yang dia tutupi.
Sebelum
aku menjawab, mama Rasya kembali keruang tamu dan membawa segelas teh hangat.
“duduk
dulu nak, siapa?”
“Arda
tante”
“iya
nak Arda, minum teh dulu. Rasya nggak nyuruh duduk ya? Sini duduk dulu. Sya,kok
Rafa nggak pulang-puang ya? Kenapa tadi kamu nggak bareng? Aduh,” mama Rasya
masuk kedalam sambil mengutak-atik handphone nya. Menelepon Rafa,mungkin.
saku
celanaku bergetar. Ternyata handphone Rasya yang berbunyi.
Mama is calling…
“itu…
kenapa hapeku ada di kamu?” Rasya merebut handphonenya dari tanganku, lalu
menutup panggilan.
“itu
kan mamamu--?”
“apa
urusanmu disini udah selesai?”
“aku
tadi… mau ngembaliin hapemu ketinggalan di kelas”
Rasya
sedikit memaksakan senyumnya,”makasih”
Aku
mengangguk-angguk. Suasana dirumah ini terasa canggung.
“Rasya!
Rasya! Kamu tahu Rafa dimana? Baru saja mama telefon malah dimatikan. Aduh, dia
kemana saja ? jam segini belum pulang…”mama Rasya berseru panik.
Aku
memperhatikan Rasya. Dia hanya menatap mamanya tanpa berkata apapun. Aku tidak
mengerti. Bukannya tadi mamanya menelepon Rafa? Namun nomor itu masuk ke hape
Rasya. Rasya menoleh padaku,”pulanglah, orangtuamu nanti khawatir.”
Aku
menelan ludah. Nada bicara itu belum pernah kudengar darinya sebelumnya.
Aku mengangguk dan mengucap maaf serta
terimakasih. Sebelum aku keluar dari rumah itu, sempat kulihat sebuah foto.
Foto keluarga Rasya. Dengan seorang anak laki-laki yang kira-kira sebaya denga
Rasya. Aku seperti pernah melihatnya. Tapi dimana?
***
Ketika aku berangkat ke sekolah esok
harinya, sekotak bekal sudah ada di atas mejaku. Aku reflek langsung menoleh
kearah Rasya, yang sedang menyibukkan diri dengan novelnya,
“Sya –“
Aku ragu ketika dia langsung
merespon panggilanku dengan tatapan yang dia berikan padaku saat menyuruhku
pulang kemarin sore.
“makasih bekalnya.”
Rasya hanya mengangguk singkat. Aku
merasa tidak enak. Apa dia kesal karena aku mengganggu sorenya kemarin? Tapi
bukankah kejadian sore itu wajar? Yang tidak wajar adalah sikapnya pada ibunya.
Aku merasa…. Aneh.
sepulang sekolah, aku iseng-iseng
bertanya pada Rasya ketika kelas sudah sepi dan aku baru akan berlatih.
“Sya, Rafa itu saudaramu yang ada di
foto keluarga diruang tamu ya? Kelihatannya sebaya. Dia sekolah dimana?”
“hah?”
“iya aku Tanya beneran. Soalnya
kayak pernah lihat gitu”
“kenapa Tanya soal Rafa?”
“karena—‘ aku kehabisan kata-kata.
“kamu nggak kenal Rafa kok.”Rasya
membereskan barang-barangnya, padahal sekarang baru tiga puluh menit setelah
pulang sekolah.”aku pulang duluan” lalu dia keluar kelas, bersamaan dengan
teman yang mengajakku berlatih. Ada sesuatu tentang kehidupan Rasya yang
membuatku ingin mengetahuinya.
Kelas sudah gelap saat aku kembali
untuk mengambil tas. Hari ini seragam untuk kompetisi minggu depan dibagikan. Tadi
senior bilang kalau tahun lalu pernah ada yang mendapat perunggu di tingkat
nasional. Jadi target tahun ini adalah lolos ke tingkat nasional.
Ada sebuah dering di kelas.
Jangan-jangan ada lagi yang hapenya ketinggalan? Kenapa harus aku yang ada di
tempat kejadian? Kan males banget kalau harus mengantar kerumah seperti
kemari—eh, ini hapenya Rasya ketinggalan lagi? Dia sengaja meninggalkan hapenya
atau bagaimana sih?
“permisi,” kali ini aku berharap bukan
mama Rasya yang membukanya.
“Arda?” syukurlah, Rasya yang
membukakan.
“nih, hapemu ketinggalan lagi.” Aku
menyerahkan hape kepada Rasya.
“seragam kompetisi?”
Aku tersenyum lebar,”iya” memang,
setelah dibagikan, aku langsung memakainya hingga sekarang belum kulepas.
Rasya menoleh kekanan dan kekiri,
seperti mengawasi sesuatu,”pulanglah. Mamaku sedang ke warung sebentar Nanti
kalau mamaku datang, kamu bakal ditahan dulu dirumah seperti kema—“
“Rafa?”
Raut Rasya mengeras. Aku menoleh
kebelakang.
“Rafa? Kamu pulang nak?”
Rafa? Siapa? Dengan siapa beliau
berbicara?
“maaf tante, tapi saya Arda.” Aku
menjawab sopan. Mama Rasya malah mendekatiku sambil berkaca-kaca,”Rafa? Kamu
pulang nak? Kenapa kamu tidak pernah pulang?”
Aku membeku. Mama Rasya memelukku.
Aku tidak bisa melakukan apapun.
“lepaskan Ma, dia bukan Rafa” Rasya
berkata tegas.
“maksud kamu apa? Jelas-jelas dia
Rafa”
“bukan tante, saya teman Rasya, saya
Arda”
“ayo maksud nak,” mama Rasya tidak
mendengarkanku, beliau menarikku masuk kedalam rumah.
Aku menatap Rasya tidak mengerti,
sekaligus meminta pertolongan. Kulihat tangannya mengepal.
“Mama! Dia bukan Rafa!”
Mama Rasya melepas tanganku
seketika. Menatap Rasya.
“apa maksudmu nak? Dia kakakmu,
Rafa…”
Rasya menarik tanganku, membawaku
untuk berdiri di sebelahnya,”berhentilah menunggu Rafa pulang ma, aku mohon.
Rafa tidak akan pulang lagi” suaranya bergetar.
“kenapa? Rumahnya tidak kemana-mana,
dia pasti pulang” mama Rasya terisak.
“berhentlah berpura-pura ma. Aku
nggak mengerti, ya Tuhan.. ini bahkan sudah hampir satu tahun. …Kenapa mama
tetap lupa kalau Rafa sudah meninggal?”
Mama Rasya menutup wajahnya sambil
menangis lebih keras,dan masuk sambil membanting pintu.
Rasya melepas genggaman tangannya,
mengambil nafas panjang.
“maafkan aku,”dia menyeka sudut
matanya yang basah,”maaf kalau kamu harus mengalami hal seperti ini.”
“bukan salahmu,” aku tidak dapat
berfikir jernih. Kejadian sore ini, dan sore kemarin,, banyak hal yang tidak
kumengerti.
“kenapa mamamu mengiraku Rafa?
Bukankah kami pernah bertemu kemarin?”
“itulah yang membuatku cepat-cepat
menyuruhmu pulang Ar,” dia mengacungkan jari telunjuknya padaku,”baju itu…”
***
Seketika semuanya menjadi lebih
jelas.
Kata-kata mama Rasya waktu itu…
“Rafa-nya
belum pulang, katanya ada latihan buat kompetisi lari begitu.
Kata-kata senior tadi saat latihan,
“Tahun
kemarin kita bisa sampai dapat perunggu di nasionl lho, berarti tahun ini
target minimal harus masuk final.”
“perunggu?
Siapa? Dia masih di klub lari ini?”
Ekspresi
mereka berubah,”sayangnya enggak Arda, dia udah nggak di sini”
“pindah
sekolah?”
Mereka
menggeleng,”dia kecelakaan, terus, yah, kamu tau.”
“aku..
nggak tau sebelumnya, maaf”
“nggakpapa.
Tapi berkat dia, sekolah kita pertama kalinya bisa menonjol di bidang olahraga.
Fotonya masih ada kok. Di ruang tamu sekolah. Liat aja, kalau dia masih ada
sekarang baru kelas sebelas kayak kamu”
Aku menepuk dahi, kenapa aku tidak
bertanya namanya pada senior? Bisa jadi yang dimaksud itu kan bukan Rafa. Tapi,
bisa jadi itu memang Rafa. Juga ditambah kata-kata Rasya tadi,
“Kenapa
mama tetap lupa kalau Rafa sudah meninggal?”
“itulah
yang membuatku cepat-cepat menyuruhmu pulang Ar,” dia mengacungkan jari
telunjuknya padaku,”baju itu…”
Baju yang kupakai tadi ketika kerumah
Rasya, baju untuk lomba. Pasti baju yang sama seperti yang dipakai Rafa dulu.
Aku harus memastikannya.
Esok harinya, setelah pulang
sekolah,aku langsung melesat ke ruang tamu sekolah. (Niatnya berangkat sekolah
mau langsung kesitu tapi ternyata ada tamu.) Memang benar, disana ada foto-foto
siswa berprestasi yang dipampang sekaligus bidak prestasinya. Aku terpaku pada
satu foto.
Rasya benar, aku memamng tidak
mengenalnya karena bari enam bulan aku bersekolah disini. Tapi aku benar kalau
aku pernah melihatnya. Disini. Dan namanya lengkapnya mirip dengan Rasya. Hanya
saja namanya Rafa.
“Arda?”
Aku menoleh.
“eh. Rasya?”
Akhirnya kami duduk di taman
sekolah.
“jadi, kamu udah tau Rafa ya?”
Aku diam saja. Tidak enak menjawab
dengan kata-kata apapun.
“maafin mamaku kemarin,”
“nggak papa, bukan salah kamu kok”
Rasya menggeleng,”seharusnya kamu
nggak usah kerumahku. Karena belum ada yang pernah main kerumahku lagi setelah
Rafa meninggal. Dan aku lupa melarangmu, jadi kejadian seperti itu harus ada”
“jadi,Rafa beneran orang yang
fotonya ada di ruang tamu sekolah itu?”
Rasya mengangguk.
“oh ya? Kenapa kamu tahu kalau tadi
aku disitu?”
“sebenernya aku nggak tau kamu
disitu. Kebiasaanku emang kesitu setiap pulang sekolah”
Setelah itu hening sesaat. Aku tidak
tahu harus berkata apa lagi. Rasya tiba-tiba berdiri, berjalan tiga langkah
kedepan, dan sambil membelakangiku dia berkata,
“aku heran kenapa kamu nggak
bertanya kenapa aku selalu pulang sore dan selalu bawa dua bekal makan siang.”
Aku tersadar. Aku sampai lupa
tentang fakta itu.
“oh ya, aku lupa tanya itu”
“jawaban untuk kedua pertanyaan itu
sama. Kamu tau maksudku kan?”
“mamamu?”
“iya.” Dia masih tetap
membelakangiku,”apa kamu tetap membiarkan temanmu main kerumah dengan kondisi
mamamu seperti itu? Enggak kan? Aku tau kamu pasti sekarang pandanganmu agak
beda padaku kan? Aku tau dan aku nggak ingin”
Aku masih diam, karena merasa Rasya
akan melanjutkan penjelasannya.
“dan soal bekal, dulu Rafa selalu
meminta dibawakan bekal. Dan itu menjadi kebiasan bagi mama untuk membuatnya.
Setelah Rafa meninggal, kebiasaan itu tetap berlanjut. Jangan kira aku nggak
mencoba mengingatkan mama. Segala cara udah aku lakukan agar mama sadar, kalau
Rafa udah nggak ada. Tapi mama tetap nggak mau mendengarku dan bersikap
seolah-olah dia masih ada. Itu.. sakit “ Rasya tersenyum sedih.
Aku mengiyakannya. Walau aku tidak
bisa merasakan apa yang dilaluinya, setidaknya aku mengerti. Sakit jika setiap
hari harus mengingat tentang orang yang telah tidak ada.
“itu sebabnya aku menghindari di
rumah lama-lama. Aku menyerah. Aku nggak tau lagi harus gimana. Mama membawakan
dua bekal, aku terima aja.“
“lalu papa mu?”
“dia sibuk. Meski aku tau papa masih
merasa sakit kehilangan Rafa, tapi dia menyikapinya dengan cara yang lebih
baik. Menyibukkan diri, dan hanya pulang di akhir pekan.”
“apa kamu nggak kesepian?”
Rasya menoleh padaku,”pertanyaan
itu, retoris banget tau”
Aku menelan ludah. Maksud tatapannya
itu,iya aku kesepian, Ar.
“kamu masih punya aku… ma-maksudnya
kamu masih punya teman kan?” aku merutuk dalam hati. Bagaimana bisa kata-kata
“kamu masih punya aku” terucap begitu saja? Ambigu yak an?
Rasya sedikit tersenyum,” iya Ar,
iya”
“Tapi,”
“kenapa?”
“kenapa kamu nggak memberitahu
siapapun soal ini?”
Raut wajahnya sedikit berubah,”siapa
bilang? Anak kelas tahu kalau Rafa saudaraku dan dia udah enggak ada. Bukannya
aku udah sering menjelaskan tentang bekal itu kan? Saudaraku enggak tinggal
dirumah lagi. Menurutku mereka paham dan nggak mengungkit soal itu lagi. Cuma
kamu yang terus-terusan tanya dikelas”
Eh? Aku jadi ngerasa bersalah,”maaf,
aku kan, nggak dari awal sekolah disini”
Rasya mengangguk,”aku paham”
“apa, apa ada yang bisa kulakukan
buat membantumu?”
“ha? Membantu apa? Aku nggak minta
bantuan kok.”
Aku menggeleng,”kamu butuh bantuan.
Kesalahanmu, kamu nggak bilang soal mama mu ke siapapun, jadi kamu menanggung
semuanya sendiri”
“sama siapa? Aku… kamu, emang bisa
menceritakan kondisi mamamu yang depresi parah sama semua temanmu?”
“aku nggak bilang semua teman kan?
Cukup satu aja tapi siap membantu kamu”
“itu semua nggak per—“
“aku.” Aku memotong kata-kata Rasya
cepat. Bagaimanapun, aku telah melihat sisi lain dibalik Rasya yang selama ini
aku kenal. Dan ternyata dia sangat membutuhkan teman.
Rasya melihatku dengan tatapan
meragukanku.
Aku mengelus tengkuk,” ya… karena
kamu udah menceritaan masalah pribadimu ke aku. Dan kukira harusnya aku
membayarnya dengan sesuatu atau apalah.”
“ya ampun Arda nggak perlu repot-repot”
“ya… krena aku tau kamu butuh
bantuan sebenarnya, nggak harus menghilangkan depresi mamamu, tapi kamu butuh
seseorang buat bercerita. Aku kan udah bilang tadi” aku mengangkat bahu.
Rasya mengangkat bahu,”terserahlah”
Aku tersenyum. Karena aku tahu,
didalam hatinya, dia pasti menerima permintaanku.
“kalau gitu aku butuh
bantuan,”katanya lagi.
“sebutin aja”
“tapi ini harus dipenuhi.”
“iya iya, sebutin aja” aku percaya
Rasya ngak akan meminta diluar kesanggupanku.
“kamu nggak boleh dapat perunggu di
kompetisi”
Aku hampir terjatuh dari
bangku,”maksudnya?”
“ya dapat emas. Perak deh, perak nggak
papa. Gimana?” Rasya nyengir.
“itu kan susah….”
“ya makanya usaha, aku bantu usahanya”
“lho, padahal tadi aku yang mau
membantu, malah dibalik.”
“yaudah, yaudah, kita saling membantu
oke? Kamu dapat emas,nanti aku akan tunjukin ke mama kalau kamu bukan Rafa.
Soalnya Rafa kan Cuma sampai perunggu. Gimana? Setuju?”
Kulihat mata Rasya menjadi berbinar.
Aku harus membantunya kan? “iya setuju”
“oke. Oke. Makasih Ar”
***
Sejak saat itu, kami menjadi lebih
sering bersama. Memang tidak mudah menghilangkan sebuah kebiasaan yang sudah
dilakukan bertahun-tahun. Tapi, kami harus membantu ibu Rasya melakukannya. Aku juga sekarang paham mengapa dulu dia
tidak dekat dengan siapapun. Dalam anggapannya, menjadi dekat berarti dia harus
terbuka,dan menceritakan kehidupannya pada orang itu, dan dia tidak
menginginkannya. Meski kerap aku dapati derai air mata yang keluar jika terjadi
sesuatu pada waktu dirumah Rasya, atau jika dia bercerita jika ibunya semakin
bertambah berlebihan,tapi aku harus memastikan agar dia tahu,agar dia selalu
bisa terbuka, agar dia selalu bisa tersenyum, dia selalu punya ak—eh punya
teman untuknya bersandar.
Ekhm.. soal bekal makan siang, bekal
Rafa sudah sepenuhnya menjadi milikku, omong-omong.
***
TAMAT
Purwokerto,20
Agustus 2016