Rain Cloud

Senin, 26 Desember 2016

Contoh Cerpen Remaja : "Perfect"



SEMPURNA


            “Kata Kamus Besar Bahasa Indonesia, sempurna/sem·pur·na/ a 1 utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela):; 2 lengkap; komplet: 3 selesai dengan sebaik-baiknya; teratur dengan sangat baiknya: 4 baik sekali; terbaik:
“Iya,itu benar, namun seseorang ada seseorang yang kukenal yang menurutku dapat menggambarkan apa yang dijabarkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia itu.
“Dia Akmal. Bahkan dari namanya pun, kedua orangtuanya telah mengharapkan kesempurnaan. Akmal dalam bahasa Arab berarti sempurna. Jika ada yang bertanya begaimana wajahnya, aku akan menjawab, dia tampan. Dengan hidung yang meliuk indah, mata yang membuatmun sulit untuk berpaling,alis yang menegaskan pandangan, rahang yang terlihat kokoh. Sifatnya? Dia santun dan sopan, bisa menentukan sikap pada tempatnya , murah hati, suka menolong. Sambil berangkat, ia sering membagi-bagikan makanan untuk orang-orang jalanan. Pergaulannya? Tentu saja dia disukai banyak orang, memiliki teman dimana-dimana, dia tidak pernah melupakan teman-teman masa kecilnya, namun selalu mau berteman dengan siapapun teman barunya. Percintaan? Jangan ditanya, setiap hari ada yang tulus hati meletakkan sebatang atau beberapa batang cokelat dan surat. Tentu saja ia menerimanya, namun saking banyaknya ia tidak member perlakuan khusus pada siapapun. Akademik? Ayolah, kau pasti bisa menebaknya kan? Kimia,isika, matematika, biologi, sejarah, seolah dengan mudahnya terpatri dalam otak di kepalanya. Berkebalikan denganku yang susah sekali faham dengan materi-materi itu. Dia juga suka mengajari teman-temannya. Bahkan penjelasan darinya lebih mudah dimengerti daripada guru. Pengetahuan umumnya juga luas. Dia faham masalah politik-ekonomi yang sedang melanda negeri ini dan negeri-negeri lain di dunia. Isu konspirasi juga dia mengerti betul. Olahraga? Dia lebih suka sepakbola daripada basket. Berbeda dengan kebanyakan anak laki-laki yang mencari popularitas lewat basket, dia lebih memilih sepak bola karena murni keinginannya. Namun tetap saja dia populer. Lapangan selalu penuh jika dia dan timnya bertanding melawan siapalah. Bahkan saat latihan rutin di lapangan sekolah, para penggemarnya berjejer menonton hingga ia selesai.
“oh, kau bertanya keluarganya?sudah kuduga kau pasti akan tertarik. Secara ekonomi, keluarganya memang di tingkat menengah keatas. Ayahnya mempunyai perusahaan multinasional di bidang property. Ibunya adalah seorang dosen di sebuah universitas. Dengan semua itu, dia seharusnya bisa meminta apa saja kan? Minta dibelikan mobil misalnya, seperti anak-anak lain untuk hadiah di ulang tahun ketujuh belas mereka. Tapi tidak, dia tidak meminta apapun. Dia belum membutuhkan mobil, katanya. Oh ya hampir terlupa. Dia juga sudah memiliki penghasilan sendiri lewat buku-bukunya yang sudah terbit. Benar kan? Sudah kubilang kalau dia itu sempurna. Kau percaya kan? Kau akan percaya jika bertemu dengannya.”
                                                                  ***                                     
Pada malam hari, ketika rembulan sedang terang benderang, kita sering bertemu dan berbicara.
“kau tidak perlu membicarakanku pada semua orang kan?”
“kenapa? Aku ingin semua orang mengenalmu. Aku ingin semua orang tahu,”
Dia tersenyum—dia memang selalu tersenyum dan senyumnya menawan— dan mengangguk,”aku mengerti. Tapi bukankah lebih baik jika kau menceritakan dirimu sendiri? Kau juga sempurna. Jauh lebih sempurna dariku,”
Aku menggeleng,”tidak. Aku hanya ingin bercerita tentangmu,”
“baiklah kalau itu maumu,”dia mengelus rambutku,”tapi ada syarat jika kau ingin terus bercerita tentangku pada orang orang,”
“apa?”
Aku menatapnya, cahaya bulan menyinari sebagian wajahnya. Indah.
“jangan melupakan dirimu sendiri,”
Aku tertawa,”setiap kita berbicara, kau selalu mengatakan itu. Tentu aku tidak lupa.”
Akmal tersenyum lagi, senyumannya agak sedih,”tapi kau hampir selalu melupakan dirimu, aku khawatir.”
“khawatirkanlah aku, lalu ajak aku bersamamu,”
Sudah kuprediksi, dia pasti menolak. Seperti hari-hari sebelumnya. Akmal menggeleng tegas,”Tidak . tidak saat ini,”
Setelah itu dia akan menghentikan percakapan pada hari ini. Dan pergi.
***
Lalu setiap pagi, aku akan merajuk pada ibu.
“ibu, kenapa ibu tidak membolehkan aku pergi bersama Akmal?”
Ibu yang sedang merapikan tempat tidurku menjawab, “bukannya dia yang tidak membolehkanmu pergi kan?”
“eh? Bagaimana ibu tahu? Bukannya Akmal berbicara padaku, bukan pada ibu?”
“kau kan mengatakannya setiap pagi, nak,”
“oh iya”
Ibu duduk disampingku,”tadi malam Akmal berbicara pada ibu,”
Aku langsung antusias,”oh ya? Biasanya dia hanya berbicara padaku,selama sepuluh tahun terakhir”
“iya, dia bilang pada ibu agar kau tidak melupakan dirimu,”kata ibu sambil mengusap rambut panjangku.
“aku tidak melakukannya,kok,”
“dia juga bilang agar ibu selalu menjagamu. Karena dia tidak bisa terus-terusan menjaga dan berbicara padamu lagi,”
Aku menjadi sedih,”kenapa? Bukannya tugasnya sebagai kakak untuk menjaga adiknya?”
Ya. Aku adik Akmal, jarakku dengannya terpaut lima menit.
Ayahku juga ayah Akmal, ibuku juga ibu Akmal.
“iya nak, tapi kau kan sudah besar. Akmal juga memiliki urusan tersendiri kan?”
Aku mengangguk-angguk. Meski aku hanya bisa menebak urusan apa yang dimiliki Akmal sampai dia harus menitipkanku pada ibu.
“oh ya nak, bukannya besok kau ulang tahun yang ketujuh belas?”
Oh! Aku baru ingat. Berarti ulang tahun Akmal juga.
“iya iya”
“kau ingin ibu dan ayah beri apa? Karena ini yang ketujuh belas, permintaannya yang berbeda ya, jangan seperti tahun-tahun kemarin,”
“Bagaimana lagi keinginanku Cuma kalian mengakui kalau Akmal itu sepertiku, hanya mengakui saja,”
Wajah ibu sudah berubah sedih,”tapi dia tidak sama sepertimu nak,”
“Akmal tidak sama sepertiku memang. Dia baik,sopan,pintar,jago olahraga—“
“bukan seperti itu,”
“lalu apalagi bu?”
Wajah ibu kembali melembut,”kau lebih beruntung daripada dia nak, kau satu-satunya yang ibu miliki,”ibu memelukku.
Aku melepas pelukan ibu,”ibu kan juga punya Akmal,”aku membantah.
“sayang, kau lupa lagi ya?” mata ibu berkaca-kaca,”kau jauh….jauh lebih beruntung daripada Akmal. Jika kau bilang dia memiliki semua kesempurnaan, tapi semua kesempurnaan itu tidak ada artinya dibanding apa yang kau punya,”
Aku mencoba memahami kalimat ibu. Sebenarnya kalimat itu telah setiap hari kudengar, namun aku selalu mencoba memahaminya lagi.
“Apa yang aku punya?”
Ibu menggenggam tanganku,”kehidupan,”
Selanjutnya ingatan tentang rumahku yang ramai dengan orang-orang membacakan ayat-ayat suci, tubuh Akmal yang saat itu masih berumur tujuh tahun yang ditutupi kain, serta ibuku yang menangis berputar-putar dikepalaku.
Setelah itu yang kuingat bahwa ibu berseru-seru memanggil suster dan mereka memegangi kaki dan tanganku dengan erat.
***
“kau membuat keributan lagi, bukankah aku sudah menitipkanmu kepada ibu?”
“jadi kau sungguhan bicara pada ibu?”
Akmal mengangguk,”tentu saja,”
“oh ya Akmal, besok kita berulang tahun ketujuh belas. Apa yang kau inginkan? Kalau aku, ingin ikut denganmu,”
Tidak seperti biasa, Akmal terdiam sebentar,”aku juga ingin bersama denganmu,”
Aku kaget,sekaligus senang,”jadi aku boleh ikut?”
“tidak,”Akmal menolak lagi.
“kau bilang ingin bersamaku juga?”
“yang kuinginkan sebenarnya adalah,”Akmal menatapku,”aku ingin kau melihatku dengan cara yang berbeda. Tidak seperti ini.”
“maksudnya?”aku bertanya padanya.
“maksudnya adalah, kau akan mengingatku dengan terseyum. Mengenangku dengan ikhlas. Membahagiakan ibu dan ayah, dan yang terpenting, melepasku.”
Aku membuka mulut bermaksud menjawab perkataannya, tapi Akmal kembali berbicara lagi,
“aku sudah menemanimu selama hampir tujuh belas tahun.Lebih dari cukup untuk kau tahu kalau aku juga menyayangimu. Dunia kita sudah tidak sama lagi,”Akmal tersenyum lagi,”jadi kau mau melepasku dengan ikhlas kan?”
“be….berarti…”sebuah kesadaran seperti memukul pikiranku dengan keras,”yang ibu bilang, kalau aku lebih beruntung darimu itu benar?”
Akmal mengangguk, tersenyum lebih lebar,”kau masih mempunyai kehidupan,”
aku masih mempunyai…..kehidupan?
Akmal mengangguk-angguk.
“tapi,.. aku merasa aku akan bersamamu besok,”  aku merasakan perasaan aneh yang menyenangkan sebelum aku terlelap.
“oh ya?”
“iya, sungguh,”
“seperti apakah itu?”
“entahlah, kau,aku ibu, ayah, kita akan dapat bersama lagi. Bukankah itu menyenangkan? Kau senang kan? Kau senang?”
Akmal berfikir sebentar, tapi dia tak bisa menyembunyikan senyumannya,”aku sudah tidak lagi berbicara dengan ayah,”
“Jadi, apa aku harus melepasmu? Tidak kan?”
“Aku juga tidak tahu, kuharap, aku bisa bersama kalian,”
***
Pukul 05.53 wib,  Daerah ini diguncang oleh gempa berkekuatan 5,9 SR versi BMKG dengan pusat gempa 38 km di kedalaman 33 km di bawah permukaan air laut. Sedangkan versi  World Wide Seismic Network (WWSN) yang berpusat di Amerika, berkekuatan 6,2 Scala Richter, dan pusat gempa 27 pada kedalaman 17 km atau pada koordinat 8,26 LS dan 110,33 BT.
Akibat gempa yang mengejutkan ini, dengan seketika sebanyak 27.000 rumah ambruk berantakan, termasuk sebuah rumah sakit jiwa, ribuan jiwa melayang, korban luka-luka tak berbilang. Kerusakan pun mencapai 10 %. Gempa dahsyat ini tak hanya meruntuhkan materi, namun jiwa manusia turut tergoncang hebat.

TAMAT
***

Selasa, 25 Oktober 2016

contoh cerpen tema pendidikan

ada sebuah event di sekolah saya yang mengharuskan saya membuat cerpen. dan ini adalah cerpen yang saya buat tempo hari. bertema pendidikan, semoga dapat menjadi referensi dan menghibur kalian.
selamat membaca!




Dua Minggu


“Pada lihat berita nggak?”
“enggak”
“enggak. Berita apaan?”
Lalu kelas kembali gaduh, tidak memedulikan pertanyaanku.
“Hoii!!” aku berseru, meminta perhatian.
“apa sih  Ray? Berisik banget”
“Ini penting, kalian seriusan nggak update berita dari pemerintah akhir-akhir ini?”
“ah, palingan juga soal pemilu presiden. Palingan juga politik”
“iya, palingan korupsi,”timpal yang lain.
Aku mengambil nafas. Harus sabar menghadapi situasi ini.
“Hoi, dengerin ya!” aku kembali berseru.
“Iya! Apa sih? Tinggal ngomong aja!”
“Tau nggak menteri pendidikan baru meresmikan pengumuman baru!”
“nggak tau lah, nggak penting”
“Ini penting!!” aku gemas, mereka sama sekali nggak tertarik.
“apaan?”
“Ini tentang PENGHAPUSAN STUDY TOUR UNTUK SMA!”
Lalu hening. Aku sengaja menekankan kata ‘penghapusan study tour itu’ keras-keras. Benar saja, mereka langsung terdiam.
“Alah, palingan si Raya Cuma ngerjain kita,” celetuk salah seorang temanku, Aldi.
“eh, kamu nggak percaya?” aku membuka hape, membuka situs berita, lalu menyodorkannya,”nih, lihat nih!”
“apa keyword nya Ray?” beberapa teman mengambil hape mereka.
“tulis aja’ penghapusan study tour untuk SMA’ pasti keluar banyak”
Kelas gaduh, tapi bukan gaduh seperti tadi. Gaduh kali ini lebih dipenuhi karena umpatan-umpatan.
“Masa study tour kita diganti wisata liburan?!”
“Hah??? Kita bakal ngajar?”
“kayak KKN dong?”
“Aku udah beli baju buat study tour!”
“Akh!! Ini nggak berguna banget!”
“Dikira kita nggak butuh piknik apa??”
“Egois banget menterinya! Gara-gara masalah sekelompok orang aja imbasnya ke kita-kita!”
Aku hanya tersenyum mendengar semua umpatan teman-temanku. Habisnya, aku sudah puas mengumpat-ngumpat tadi malam. Siapa juga yang setuju tentang pergantian study tour  menjadi wisata liburan?
“HEY TEMAN-TEMAN DENGERIN, tapi disini disebutkan bahwa program ini akan dilaksanakan secara serentak MULAI TAHUN DEPAN. Jadi kita aman nih, hahaha!!!” Dela, berdiri dan tertawa keras sambil membacakan sebuah cuplikan artikel di hapenya.
“Del, tapi masih ada kelanjutannya kan?” aku mengingatkan. Aku mengenal kata-kata itu. Aku sudah membacanya tadi malam.
“eh iya nih. HAH?? ?” Dela berseru panic. Tawanya hilang.
“apa Del? Bacain!”
“Tapi ada sekolah yang ditunjuk untuk melaksanakan program ini untuk pertama kali setiap provinsi.”
“Jangan bilaangg….”
“Aaaaa Tidaakkk”
Aku tersenyum sedih. Sekolah ini memang sering ditunjuk sebagai sekolah percobaan apalah. Dan itu menjengkelkan.
“nasib liburan kita kawan…”
***
JAKARTA—Mulai semester depan study tour dihapuskan untuk SMA - Mendikbud kembali membuat terobosan demi memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Setelah beberapa wacananya seperti Full Day School, Guru dilarang menggunakan LKS sampai 3 Tips Jitu Mendikbud agar Unggul di Eranya, kini Mendikbud memiliki wacana tentang penghapusan study tour untuk siswa Sekolah Menengah Atas. Tentu hal ini tidak serta merta bisa diterima begitu saja, terutama oleh para siswa. Meskipun akan mendapatkan sambutan baik dari para guru.

Penghapusan Study tour resmi dilakukan Semester Depan. Dilansir dari news,com, ditemui di ruangannya, Gedung A Kemendikbud, Jakarta Pusat, Pak Menteri mengatakan study tour sekolah seharusnya bukan hanya sekedar liburan. padahal namanya juga’study’.

Sekolah harus bisa menyajkan pembelajaran yang mengasah mental dan moral, itulah visi pendidikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk mengimplementasikanya, Pak Menteri punya beberapa rencana program. Salah satunya yang terbaru adalah rencana penghapusan study tour sekolah.

Program ini dilatar belakangi oleh maraknya kasus kemerosotan moral para siswa terutama terhadap guru. Ditandai dengan bnyaknya viral di dunia maya yang menampilkan foto-foto yang tidak patut dicontoh, namun sayangnya sedang banyak terjadi di negeri ini.

Beliau menginginkan pendidikan moral dan sopan santun ditekankan di sekolah. Murid tidak boleh terlalu dimanjakan. Beliau juga menuturkan bahwa akan mengisi member pengalaman baru bagi siswa lewat program ini.

Program wisata sekolah ini terintegrasi dengan rencana program pengembangan karakter di sekolah yang lebih kiat kenal dengan istilah moralvalueday. Karena akan ada pendidikan terjun langsung ke masyarakat, jadi pembelajaran bukan hanya mempelajari materi-materi eksak.


***
Mau kami seprotes apapun, mau kami unjuk rasa seperti masa reformasi, ngeles pada semua guru yang masuk ke kelas, keputusan sudah nggak bisa diganggu gugat. Upacara ini, kepala sekolah mengumumkan keputusan menteri terbaru yang akan diuji-cobakan, salah satunya di sekolah ini. Parahnya, wisata liburan ini hanya dilakukan bagi anak kelas sebelas.
Ada sepuluh kelas di kelas sebelas. Ada sepuluh tempat destinasi wisata liburan. tiga masih di dalam kota, tujuh ada di desa. Dan destinasi itu diambil dengan cara undian. Bagi yang beruntung mendapat kota, maka mereka nggak perlu menginap selama dua minggu. Dan yang di desa, mau nggak mau harus menginap, karena jarak yang ditempuh dari kota terlampau jauh. Menginap, kawan,dua minggu. DUA MINGGU. Di tanah orang, jauh dari orang tua! Benar-benar wisata yang LUAR BIASA.
Aku dan teman-teman yang lain sudah mengancam Aldi, selaku ketua kelas untuk memilih kota. Peluangnya 3/10. Ayolah, dia harus bisa mendapat satu dari ketiganya. Dia harus beruntung!
“Aldi, bagaimana?”
Dia membuka kembali gulungannya.
            Dan mengucap suatu kata yang belum pernah kudengar.
            “itu dimana?”
            Aldi tersenyum sedih,”perjalanan sekitar satu setengah jam dari sini”
            Ya tuhan bagaimanalah ini.
***
            “Selamat pagi!”
            “Pagi buuuuu!!”
            “Hei, kan udah kubilang panggil aja kak Raya!”
            “Iya kak!!”
            “oke, sekarang kakak mau Tanya, tadi kalian habis belajar apa?”
            “IPAA”
            “Belajar apa aja Dik?”
            “Alat indraa”
            “oke, sekarang pelajaran bahasa Indonesia ya, oh ya, hari ini masuk semua?”
            “Yaya nggak masuk kak!”
            “Yaya kenapa?”
            “sakit kak”
            Aku mengangguk, menulis daftar hadir di bukuku.
            Aku mengambil kapur dan mulai menulis judul materi di papan tulis.
            “PE-NGA-LA-MAN BER-HAR-GA” Ucapku sambil membelakangi papan tulis.
            “Disini pasti punya pengalaman berharga kan?”
            Seorang anak berkuncir dua,Lea, mengangkat tangan,”Berharga tu apa kak?”
            Dimas, anak laki-laki usil yang duduk di belakang sendiri menyeletuk keras-keras,”itu lho Le, kalau ibumu ke pasar kan sayurnya berharga!”
            Mau nggak mau aku tertawa,”itu bukan maksudnya Dimas. Berharga itu yang selalu diingat.”
            “Sayur kan selalu diingat buat makan kak”
            “maksudnya begini,” emang nggak gampang menjelaskan kata yang sulit untuk anak kelas tiga SD. Kan aku nggak mungkin menjawab menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia:
berharga
ber.har.ga
[v] mempunyai harga: barang antik itu ~ jutaan rupiah; (2) v berguna; bermanfaat: nasihatnya sangat ~ bagi kami; (3) v mempunyai harga tinggi; mahal harganya: kami tidak memiliki barang-barang ~; (4) a bernilai; tinggi nilainya; penting: dokumen pribadi dan surat-surat ~ lainnya dititipkannya di bank


            “nih, sini Dimas sama Lea kedepan sama kakak”
            “Ngapain kak? Nggak mau!” Dimas melipat tangan di dada. Lea sudah maju dan berdiri di sampingku.
            “Kakak mau jelasin nih”
            “ah, nggak mau”
            “Ayo Dim!” Lea berseru, menyuruh Dimas maju. Dia akhirnya ke belakang dan menarik Dimas. Mau nggak mau Dimas maju.
            “coba Dimas sama Lea nyanyi bareng”
            “Ha? Nyanyi? Nggak mauu” Dimas hampir kabur ke belakang lagi, tapi segera kutahan,”Lea bisa nyanyi, aku nggak bisa,”katanya.
            “emang,”Lea menyombongkan diri.
            Tiba-tiba saja Lea bernyanyi keras. Tebak bernyanyi apa? Lagu dangdut sambil berjoget ria pula! Aku panik. Masa anak seumuran gini udah bisa joget dangdut, wah parah, parah.
            “udah, udah, Le, udah sekarang duduk sana, duduk!”
            Lea masih asyik, Dimas kabur. Beberapa murid perempuan lain malah ikut bernyanyi. Teman-teman Dimas, ikut memukul-mukul meja. Ya ampuuun.
            “Heiii diaamm, kakak mau pelajarn niih” aku berseru meminta perhatian.
            “Kak bosen pelajaran terus, nyanyi aja sih!” celetuk Dimas lagi.
            Tiba-tiba aku mendapat ide.
            “Yaudah yaudah hari ini nggak pelajaran, tapi diem dulu”
            “WOI DIEM!”
            Lea dan teman-temannya kusuruh kembali ke kursinya.
            “ngapain kak?” Tanya Desi.
            “Hari ini kita bikin pengalaman berharga yuk!”
            “kita mau masak kak?” Tanya seorang anak laki-laki teman sebangku Dimas, Ito.
            “Loh, kok masak?” aku malah jadi bingung sendiri.
            “Kan Dimas bilang kalau berharga itu kayak sayuran”
            Ya ampun pemikiran macam apa itu… aku belum meluruskannya.
            “Heh bukan, pengalaman berharga itu pengalaman yang nggak akan kita lupakan.”
            “Loh nanti kalau lupa gimana”
            “berarti itu bukan pengalaman berharga”
            “contohnya kak?”
            Aku tersenyum menang. Mereka ternyata aslinya memang antusias. Lagaknya saja nggak mau belajar.
            “misalnya kamu dapat rangking satu pas pembagian rapot, terus diajak orangtua liburan ke pantai.”
            “oooh gitu…”koor anak-anak kelas.
            “iya. Ada yang mau cerita pengalaman berhar—“ aku belum menyelesaikan kalimatku ketika Dimas berulah lagi.
            “KAKAK KATANYA HARI INI NGGAK PELAJARAN!”
            Dan teriakannya itu berdampak terhadap semua anak di kelas ini seakan mereka baru tersadarkan akan sesuatu.
            Aku mengumpat dalam hati. Dimas, ihh, sebel banget.
            “Iya iya ini kan lagi njelasin sedikit!” aku ikut memasang ekspresi seperti Dimas, menantang.
            “Yaudah ayo mau ngapain kak!”
            “Yaudah kalian maunya ngapain nih,” aku menawarkannya pada mereka yang malah menjawab ingin pulang. Padahal baru jam delapan.
            “Yaudah sekarang semua berdiri terus kedepan, baris yang rapi yaa”
            Mereka semua berdiri dan maju kedepan dan berbaris meskipun belum bisa dibilang rapi. Tapi nggakpapa sih.
            “Kalau kak Raya bilang maju, kalian mundur selangkah, kalau kak Raya bilang mundur, kalian maju selangkah. Kalau kak Raya bilang, kanan, kalian ke kiri satu langkah. Kalau kak Raya bilang kiri, berarti kalian kekanan satu langkah”
            “oh berarti kalau maju jadi mundur, mundur jadi maju, kanan jadi kiri, kiri jadi kanan?”
            “seratus! Betul! Siap?”
            Aku tau permainan ini sulit, bahkan untuk anak seumuranku. Kami pernah mencobanya dan gagal. Tapi pasti menyenangkan buat mereka.
            Aku mengeluarkan hape dari saku dan menyetel video.
            “Siap? Satu..dua..tiga.. MAJU MAJU MUNDUR”
            “he mundur jangan maju”
            “he maju”
            “awas awas”
            Baru pertama kali mereka sudah saling bertabrakan. Aku tertawa ngakak sendirian sambil memvideo.
            Ini akan jadi pengalaman berharga untukku.
***
            Sudah hari keenam,alias hari sabtu wisata liburan kami di desa yang jauh. Kami memang menolak mati-matian pada awalnya.  Kami disuruh mengajar kelas satu hingga empat. Aku kebagian kelas tiga dan empat, pelajaran Bahasa Indonesia. Kami tidak suka, tapi kami membawa nama sekolah. Kan tidak mungkin kami tidak menyunggingkan senyum pada penduduk desa dan anak-anak. Terlebih mereka menyambut kami dengan sangat baik. Kami tinggal di rumah-rumah penduduk. Satu rumah maksimal dua anak. Aku tinggal bersama Dela. Kami juga mencuci pakaian sendiri.
            Sekali lagi, kami benar-benar keberatan dengan ini semua. Ada yang tidak pernah mencuci, harus mencuci sendiri. Itu berat. Tapi sekali lagi aku tekankan, kami membawa nama sekolah dan keluarga. Kami harus berbuat baik.
            Setiap pulang sekolah kami berkumpul dengan para guru dan melaporkan hasil mengajar. Lalu setelah itu kami juga berkumpul untuk menumpahkan keluh kesah kami mengajar dan hidup disini.
            Aku bersyukur tidak mengajar anak kelas satu. Teman satu tempat tinggalku, Dela menangis di hari pertamanya karena tidak kuat. Katanya bersik banget dan nggak bisa diatur. Hari-hari selanjutnya pun sama, selalu ada anak yang menangis. Anak kelas tiga dan empat membuat pening dengan cara yang berbeda. Aku paling hafal pada Dimas. Dia sering mengganggu jalannya pelajaran dengan nyeletuk yang aneh-aneh. Yang membuatku kadang malah terbawa penjelasan yang menyimpang dari pelajaran. Aku pernah bertanya pada guru asli SD ini tentang kelakuan anak muridnya. Kata beliau, mereka tidak separah ini biasanya. Munurutku, mereka berani melunjak pada kami karena kami masih muda, tidak seperti para guru yang lain.
            Meski begitu, kami juga tidak bisa memungkiri kalau disini benar-benar menyenangkan. Tidak seperti di kota yang tidak ada sawah. Pernah beberapa hari yang lalu, aku dan beberapa teman diculik Dimas dan teman-teman untuk pergi ke curug. Kebetulan desa ini juga ada di lereng gunung. Pemandangan gunung di pagi dan sore hari benar-benar menyehatkan mata yang telah terlalu lama terpapar radiasi hape.
            Sekarang aku sedang menikmati waktu menganggurku. Sudah tidak ada jadwalku mengajar hari ini.sekarang baru jam Sembilan dan sekolah pulag jam sebelas. Sementara teman-temanku yang juga sedang menganggur, yang biasanya berjajar di salah satu sudut, tidak terlihat dimanapun. Jadinya aku duduk sendirian memandangi jajaran kelas yang sepi.
            “Ray, anak kelas empat pada kemana sih?” Fera tiba-tiba menepuk bahuku.
            “Nggak tau loh,”
            “lagi pelajaran olahraga. Si Aldi kemana sih? Udah ngaret sepuluh menit”dia melirik jam.
            “Bentar lagi kali Fer, tunggu sini aja”
            “Yey aku sampe duluuan!” seorang anak kelas empat berseragam olahraga berlari ke lapangan, melewatiku, tapi kemudian menoleh dan menyapaku,”kak Raya! Kak Fera!”
            Aku melambaikan tangan,”hei! Habis olahraga?” aku lupa nama anak ini.
            Dia mengangguk.
            “olahraganya ngapain?” Tanya Fera
            “Tadi jalan-jalan doang terus disuruh cepet-cepetan sampe sekolah”
            “jalan-jalan doang?”
            “iya”
            Wah Aldi enak banget dia ngajar Cuma jalan-jalan doang.
            Datang segerombol anak beserta Aldi disana.
            “udah ya, kalian bisa balik ke kelas. Kayaknya udah ditunggu kak Fera tuh”
            “iya yuk, masuk yuk!”
            Setelah anak-anak dan Fera masuk, Aldi duduk di sebelahku.
            “Ngapain aja sih? Kayaknya cape banget. Padahal Cuma jalan-jalan doang”
            Aldi kelihatan tidak terima,”doang heh? Doang? Kamu bilang doang?”
            Aku mengangkat bahu,”tadi kata salah satu anak Cuma jalan jalan doang”
            Dia mengambil nafas panjang, terlihat lelah,”iya sih jalan-jalan doing bagi mereka. Tapi aku rasanya kayak lagi nangkepin capung”
            “hah?” aku gagal paham. Pengandaiannya sangat tidak nyambung.
            “maksudnya mereka itu lari-lari terus nggak mau baris. Kalau hilang kan aku yang tanggung jawab. Semakin mereka disuruh baris, semakin hancur barisannya. Kan stress”
            Aku tertawa,”hahaha, nikmatin aja kali. Cuma sekali kayak gini”
            “iya sih”
            “Oya Ray, udah tau tentang perpisahannya kita belum?”
            “perpisahan? Soal bikin pertunjukan?”
            “Iya. Berarti kamu udah tau. “
            “Aku Cuma tau tentang ada pertunjukan. Nggak tau mau ngapain aja.”
            “Yaudah nanti pulang sekolah kita ada kumpul buat bikin pertunjukannya”
            “oke”
***
            Hari minggu pagi, segerombolan anak sudah menerorku. Dirumah yang aku dan Dela tinggali, ada seorang anak kelas empat bernama Lala, yang telah menggedor-gedor pintu kamarku sejak pagi-pagi sekali. Rupanya mereka, sekitar sepuluh anak,yang didalamnya ada gengnya Dimas mengajak kami ke curug lagi. Dari tiga puluh enam teman sekelasku, hanya duabelas anak yang mau ikut, sisanya lebih memilih tidur menghilangkan penat.
            “Mau ke curug mana sih?” tanyaku.
            Mereka menyebut satu nama curug. Bukan curug yang pernah aku datangi tempo hari.
            “disini curugnya banyak ya?” komentar Dela.
            “iya kak, ada tiga.”
            Jalan ke sebuah curug memang tidak pernah mudah. Beberapa kali aku terpeleset melewati jalan setapak yang masih basah karena embun. Aku memilih tidak lagi memikirkan baju yang sudah kotor terkena licak lumpur.
            “Nah udah sampai kaak!”
            Kami lalu disuguhkan pemandangan sebuah curug dengan sumber air yang tidak terlalu tinggi namun terlihat menggiurkan untuk membiarkan tubuhmu diguyur air dibawahnya.
            “tunggu apa lagi?” para anak laki-laki langsung melepas kaus dan melompat. Kami, yang perempuan, memilih foto dahulu.
            “Kak, ayo turun kak, kak Rayaa!”
            Aku mendengar namaku dipanggil.
            “apa? Kenapa manggil aku?”
            “sini coba kak, airnya dingin!” seru Dimas.
            “oke, oke aku kesitu” aku mencelupkan kakiku ke air dan langsung sampai lutut. Dingin memenuhi kakiku,”dingin banget heeii”
            Dimas malah kurang ajar menciprati dengan air. Tapi ini sungguhan dingin pake banget. Kami kepagian ke curugnya deh.
            Setelah sekitar satu jam bermain disana, kami mengeringkan badan kami dengan duduk-duduk di pinggiran.
            Hening,dan tenggelam dengan pikiran masing-masing. Namun keheningan itu terpecah karena celetukan Dimas.
            “Kakak kakaknya Cuma sebentar ya, disininya?” entah kenapa nadanya terdengar sedih.
            Aldi menjawabnya dengan candaan,”iya. Soalnya kita kan masih harus sekolah”
            “Masih sekolah kok udah jadi guru?”
            “Yaa.. kan kepingin aja”
            “Alah kak Aldi bohong kalau kepingin. Padahal kalau ngajar sukanya sambil marah-marah dulu. Kakak-kakak yang lain juga. Kak Raya apalagi, ngajar malah nyuruh maju mundur nggak jelas”
            Aku menimpuk Dimas pakairemasan daun. Kata-kata ‘maju-mundur nggak jelas’ itu ambigu alias bermakna tidak jelas. Enak aja, padahal waktu main itu dia yang paling keras ketawanya.
            “Raya mah emang suka gitu. Maafin teman kakak ya,”Dela juga malah ikut-ikutan Dimas, kurang ajar.
            “Alah tapi palingan kamu juga seneng diajar aku Dim,” aku membalas.
            “hehehe, iya sih, asik. Nggak kayak bu guru”katanya meringis.
            “Kakak kakak perginya kapan sih?”
            “masih minggu depan kok”
            “kok sebentar?”
            “kan harus sekolah kayak kalian”
            “kakak disini aja ngajar kita”
            “iya kakak gantiin bu guru”
            Ada perasaan sedih saat mendengar itu. Kulihat wajah teman-temanku. Mereka sepertinya merasakan hal yang sama. Ternyata wisata liburan ini nggak seburuk yang kami kira kok. Walaupun baru seminggu disini, rasanya kami sudah saling berteman lama dengan anak-anak. Diam-diam aku menyesal mengapa dulu aku mengumpat-ngumpat peraturan menteri pendidikan ini. Sekarang, aku meyarankan kegiatan ini memang diterapkan.
            “Kak, mau ada acara perpisahan ya?” celetuk seorang anak.
            Oh, sebentar lagi perpisahan.
***

            “Yakin nih, Dimas mau baca puisi?” aku agak tidak yakin setelah Dimas mengangkat tangan ketika kutawarkan siapa yang ingin baca puisi.
            “Yakin lah kak”
            Aku menyeringai,”apa kamu bisa baca puisi?”
            Dimas memasang ekspresi menantang, seperti biasanya,”bisalah. Kakak ini ya, ngece banget. Guru kan nggak boleh gitu”
            “iya, iya Dim, habis kamu tampang-tampang bukan pembaca puisi sih, hehehe”
            “Kak Raya sih emang gitu orangnya,”dia ngambek.
            “Yaudah sini kakak kasih puisinya. Dihafalkan ya”
            Dimas menerima selembar kertas yang kuserahkan. Dia mengernyit.
            “Kak Raya,”
            “iya, kenapa Dim?”
            Dia nyengir,”ajari bacanya”
            “Yeee, tadi katanya bisa baca puisi?”
            “Ya bisa kalau puisi yang di buku paket bahasa Indonesia itu. Ini susah”
            “iya, sini kakak ajarin.” Aku jelas akan mengajari Dimas. Tadi itu hanya untuk mengetes aja. Puisi itu emang berat. Karya pujangga besar Indonesia.
            “ekhem,,,ekhem..”aku berdehem.
            “ih kak Raya sok-sokan” cibir Dimas.
            “biarin,” aku mengambil nafas, persiapan membaca puisi,
ATAS KEMERDEKAAN
Oleh : Supardi Djoko Damono

kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala

terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari  yang ketujuh tiba

sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah”
            Satu kelas malah bertepuk tangan, aku jadi malu. Ada Ava dab Retha yang sedang mengurus paduan suara, ikut bertepuk tangan.
            “wuih, Raya ternyata punya bakat terpendam jadi pujangga!” kata Ava.
            “ahahaha, nggak usah ngaco kalian”
            Sementara itu Dimas menatapku,”masa bacanya kayak gitu kak?”
            “ya iyalah, mau gimana?”
            “susah kayaknya”
            “ya makanya ayo latihan sama kakak”
            Rencananya, anak kelas tiga akan membuat paduan suara yang juga diiringi pembacaan puisi. Puisnya nggak Cuma satu.
            “oh ya, satu lagi nih, siapa yang mau baca puisi lagi?”
            “aku kak!”seorang anak perempuan, namanya Yanti berlari ke arahku.
            “mau baca puisi?”
            “iya kak,”
            “ini, dihafalin ya,” aku menyerahkan selembar kertas.
            “kak, dicontohin dulu kayak tadi nyontohin Dimas”
            aku nyengir. Puisi ini juga nggak gampang sih, harus dicontohin.
            “wuih, pujangga  kita mau beraksi nih” celetuk Retha.
            “ih, udah sana Tha, urus anak-anak padusmu aja”
            Aku mengambil nafas lagi, bersiap-siap,
” KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
oleh: Taufiq Ismail

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan
Indonesia
padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan
Indonesia
padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971”
            Aku mengambil nafas, dan kusadari ternyata kelas menjadi hening. Yanti melongo, begitu juga murid yang lain. Bahkan Retha dan Ava menghentikan aktivitas melatih paduan suara mereka.
            “hei, kok diem? Kagum banget sama aku ?” aku tertawa, lebih untuk menutupi malu.
            “bukan.. bukan kagum,”Ava mendekat, merebut kertas puisi yang kupegang.
            “Kamu nyuruh dia baca puisi sepanjang ini? Yang bener aja Ray? Kamu aja ngos-ngosan gitu?”
            “engg.. kepanjangan ya?” aku mengutak-atik tumpukan kertasku di meja. Siapa tahu ada puisi lagi.
            “nih, ada puisi lagi. Gimana kalau yang ini? Kakak bacain dulu, nanti kamu milih ya Yan,”
            Yanti mengangguk setuju.

            “Selamat Pagi Indonesia

Karya: Sapardi Djoko Damono
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
Yang ini lebih pendek sih, gimana?”
Yanti terlihat bimbang, tapi mau bagaimana lagi. Puisi yang cocok hanya itu. Kan keren anak SD sudah bisa membaca sastra.
“Yanti mau yang kedua aja kak”
“apa mau tukeran sama Dimas?”
Dimas langsung mendekap kertas uisinya erat-erat,”nggak mau! Punyaku lebih pendek! Itu susah!”
“enggak kak, yang ini aja,”Yanti mengambil kertas puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ dari tanganku.
“oke, kita latihan yuk,”
***
Seminggu terakhir wisata liburan kami menjadi lebih sibuk karena harus mempersiapkan pertunjukan akbar. Pertunjukan ini kami persembahkan untuk para guru dari sekolah dasar ini, warga desa, dan juga pembuktian pada guru-guru dan orangtua kami. Orangtua kami memang tidak datang, tapi kata guruku, mereka akan mendapat sebuah rekaman kehidupan dua minggu kami. Entahlah, aku bahkan tidak pernah melihat kegiatan kami didokumentasi.
Rombongan dari kota baru saja datang. Mereka membeli dan mengambil alat-alat dan apa saja yang dibutuhkan untuk pertunjukan ini. Guru-guru hanya memberikan satu kali kesempatan ke kota, sisanya kami harus manfaatkan apa saja yang ada di desa ini.
Pertunjukan akbar akan digelar di lapangan sekolah. Tidak ada panggung yang biasa kami pakai ketika event-event besar di SMA. Yang ada hanya panggung dari meja-meja yang ditata. Bahkan untuk mendirikan backgroundnya, kami hanya menopang kain hitam besar dengan bambu.
Tema yang akan kami usung dalam acara ini adalah “Indonesia Jaya”. Kelas satu sebagai penampilan pertama, akan menyanyikan lagu-lagu daerah bersamaan anak kelas dua yang menarikan tarian daerah sesuai lagunya. Penampilan kedua adalah drama singkat tentang pengusiran penjajah oleh anak kelas empat. Dilanjutkan drama singkat tentang sesudah Indonesia merdeka oleh anak kelas lima, lalu drama singkat gambaran anak muda sekarang oleh anak kelas enam. Penutup dari kisah itu adalah paduan suara dan pembacaan puisi oleh anak kelas tiga. Kami juga membuat sebuah film documenter tentang wisata liburan kelas kami yang akan ditampilkan di penghujung acara. Oke ini rumit. Tapi kami membuatnya secara sederhana. Tentang bagian penjajahan dan proklamasi, kami harus meminta bantuan anak kelas lima dan enam yang sudah mengerti. Selain itu, semuanya terkendali.
Kostum-kostum yang akan kami pakai juga sederhana. Juga propertinya. Tapi itu semua akan dapat diatasi.
“Ray, Ray, sini buatin graffiti,”
“Anak laki aja, lebih bisa dari aku”
“anak laki sibuk!” seorang teman laki-lakiku, sengaja berseru dari kejauhan. Aku menoleh kearah mereka yang sedang beramai-ramai memotong bambu.
“Gambarmu juga bagus kok Ray,”
“Yaudah deh,” aku menyerah, mengambil pensil yang disodorkan Retha lalu mulai enggoreskannya di kertas asturo kuning.
“RAYAAA… HUHUHU…RAYA…”tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang sambil berpura-pura menangis.
“Kenapa sih Del?”
“Nih ya, aku bokek, huhuhu…”
“Lah, kok bisa?”
“jadi tadi si muti kan nangis, terus aku belikan permen lolipop. Lihat Muti dibelikan permen, anak-anak yang lain nangis juga pada minta permen. Anak kelas dua juga ikut-ikutan ngerengek-rengek minta dibelikan permen. Mereka ngancam nggak mau latihan lagi. Yaudah aku beliin permen lollipop semua. Tiga puluh ribuku! Aku abis uangnya Ray, huhuhu”
Muti itu anak kelas satu yang centilnya tidak kira-kira dan cengengnya minta ampun. Aku pernah meladeni anak itu menangis dari jam pertama sampai pulang sekolah. Disuruh pulang tidak mau, disuruh masuk kelas juga tidak mau, maunya dipangku sama aku. Sungguh itu nggak nahan banget. Aku jadi kasihan sama Dela, dia jadi penanggungjawab tim lagu daerah anak kelas satu.
Tapi, aku juga meertawakannya,”untung aku bukan sama anak-anak kelas satu Del, setres kali aku”
“udah ah, udah ah” Dela berdiri,”aku mau ngelatih lagi. Nanti aku pinjam uangmu ya Ray”
“iyaaa,”
Lagi-lagi, kegiatanku untuk fokus menggambar graffiti harus tertunda.
“Woi kak Raya!!!”
Aku tahu panggilan agak kurang sopan itu. Siapa lagi kalau bukan Dimas.
“Kenapa Dim?” aku balas berteriak.
“Kakak ngajarin malah nggambar! Kak, ajarin!!”
Kadang aku berfikir untuk mengajarinya sedikit sopan santun.
“Iya bentar!” aku meletakkan pensil,”teman-teman, kayaknya aku emang nggak ditakdirkan buat menggambar graffiti. Aku mau ngelatih puisi dulu yak, babay!”
***
Seminggu kemudian, pertunjukan akbar dibilang lancer. Aku justru kagum dengan Dimas yang membaca puisi dengan indah. Acara ini juga berhasil membuat para guru SD, dan guru kami menangis. Meski akhirnya aku dan yang lain benar-benar menangis ketika bis yang menjemput kami sudah datang.
Setelah tiga minggu beristirahat, kami kembali bersekolah. Akun-akun media sosial yang dimiliki anak kelas sebelas ramai memamerkan foto-foto hasil wisata liburan. ternyata semua kelas sama, se malas-malasnya mereka menjalankan kehidupan asingnya, mereka—ah bukan, kami, tetap tidak bisa memungkiri bahwa wisata liburan pengganti study tour benar-benar asik.
Aku sendiri paling dekat dengan Dimas ketimbang anak-anak lain di desa itu. Selain Dimas benar-benar tidak sopan terhadapku, dia juga menangis waktu aku berpamitan padanya. Aku memberinya sebuah gantungan kunci yang biasa aku pakai di tasku kepadanya. Dia juga memberiku surat. Isinya lucu sekali.
Pada hari apel  pertama siswa kelas sebelas masuk sekolah, kepala sekolah mengucapkan terimakasih pada kita. Program percobaan wisata liburan sekolah kami berjalan sukses. Tidak ada kelas yang menyerah menjalankan ini. Kami pun dibagikan kaset berisi video kegiatan kami untuk diserahkan kepada orangtua. Ketika aku menontonnya, aku benar-benar terkejut. Isi video itu bertokoh utama aku! Fokusnya pada kegiatanku. Aku sungguh tidak pernah tahu bahwa akan kegiatanku selama itu terekam oleh kamer. Siapa yang merekamnya? Hanya Tuhan dan para guru yang tahu. Mereka keren bkisa memvideo setiap anak tanpa kami sadari.
Aku dan teman-teman kelas pun telah berencana akan main ke desa itu sehabis ujian kenaikan kelas. Aku tidak sabar untuk itu.
***
JAKARTA—Percobaan Peraturan terbaru yang diputuskan uleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Wisata Liburan baru saja usai. Para siswa ‘dilepas’ ke lingkungan asing hanya bersama teman-teman dan guru, untuk bersosialisasi kepada masyarakat selama dua minggu. Mereka harus mengajar anak-anak sekolah, dan mempersembahkan sebuah karya di akhir.
Respon masyarakat untuk kegiatan ini berbeda-beda. Ada yang benar-benar senang didatangi oleh anak-anak SMA dari kota, ada juga yang merasa terganggu.
“Kami akan terus memperbaiki sistem wisata liburan untuk tahun depan,”kata Menteri Pendidikan untuk menanggapi pernyataan tentang desa yang ‘malah’ terganggu dengan kedatangan anak-anak SMA itu.
“Program wisata Liburan ini akan tetap dilaksanakan tahun depan, walaupun masih dalam fase percobaan tahap kedua. Kami akan merubah sistem jalannya program ini dan berharap ada peningkatan yang signifikan baik pada warga desa yang ditempati, maupun pada para siswa yang menempati”
Sebanyak 18 sekolah dari 60 sekolah yang mengalami percobaan program, dinyatakan gagal. 5 dari 18 sekolah yang gagal, merupakan sekolah-sekolah favorit di ibukota. Para siswa kebanyakan menyerah dan kabur kerumahnya sebelum waktu tenggat berakhir. Warga desa juga protes tentang perilaku anak-anak yang tidak sesuai dengan kebiasaan penduduk.
“Ternyata murid dari  sekolah favorit di ibukota pun kesulitan bersosialisai. Ini menjadi pr kita semua.”ucap Menteri Pendidikan.
Sementara hasil paling memuaskan didapatkan dari sekolah-sekolah percobaan program wisata liburan dari Jawa Tengah. Siswa dan warga desa memiliki ikatan yang kuat walauun belum saling mengenal.
Ketika ditanyai mengapa ikatan diantara mereka begitu erat, jawaban salah satu siswa yang diwawancarai sangat menakjubkan,”kami sama-sama orang Jawa, suku Jawa. Lantas apa yang membuat kami berbeda dengan warga desa? Karena kami warga kota? Ya, itu perbedaan. Tapi perbedaan itu tidak membuat kami merasa berbeda. Penduduk desa menyambut kami, kami,awalnya terpaksa juga menyambut baik mereka, karena nama kami, nama sekolah ini, dan harga diri kami sebagai pemuda dipertaruhkan. Itulah yang membuat kami bisa membuat sebuah ikatan tak kasat mata dengan mereka,”kata seorang siswa dari ibukota Jawa tengah.
Ketika ditanya bagaimana pendapat tentang program ini,ia menjawab,”tentu program ini masih harus terus dilakukan,aku bahkan ingin ikut lagi,”katanya sambil tertawa.
Kami juga mewawancarai salah satu penduduk desa yang sukses bersama Program ini,”mereka sopan sekali. Mereka juga akrab dengan anak-anak kami”
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga menegaskan, walaupun masih ada kegagalan, pengkajian ulang dan percobaan kedua Program wisata liburan akan dilakukan.
***
Aku sedang asyik menonton video di aplikasi youtube. Seharusnya aku mencari tugas sekolah, namun malah terlenakan oleh aplikasi itu. Aku iseng mengetik percobaan wisata liburan dan disana muncul berpuluh-puluh video. Ada video sekolah kami tenting. Aku juga meninton video dari sekolah-sekolah lain. Dan itu malah mengingatkanku pada murid sekaligus teman-teman kecilku di desa.
“eh apa ini?”
Atas kemerdekaan, puisi untuk negeri
Pada tampilannya, ada orang yang tidak asing. Aku pun mengkliknya.
ATAS KEMERDEKAAN
Oleh : Supardi Djoko Damono

kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala

terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari  yang ketujuh tiba

sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
            Puisi ini diajarkan sama kakak kakak yang pernah ke desa kami. Namanya kak Raya. Hai kak! Lihat kami di youtube!”
            Ya ampun itu Dimas dan beberapa temannya! Siapa yang mengunggahnya? Aku tidak tahu, mungkin kakaknya Dimas atau orang lain, tapi namaku benar-benar disebutkan!  Kalau begini aku malah jadi tidak bisa move on dari pengalaman wisata liburan itu.
            “kak Raya, nih gantungan kuncinya! Udah jelek masih dikasihkan ke orang!”
            Tuh kan,bahkan divideo itu dia masih sempat-sempatnya tidak sopan terhadapku.
            “apa ini kak Raya bakal ngelihat?” tanyanya pada seseorang dibalik kamera.
            “lihat lah” kata sebuah suara.
            “beneran, yaudah dadaaad, dadaah” Dimas dan beberapa anak kelas tiga beramai-ramai melambaikan tangan. Sementara aku disini malah terharu. Apa kami bisa bertemu lagi? Di kesempatan yang berbeda? Apakah mereka akan mengingat kami sebagai pengalaman yang berharga? Ah tidak, apakah kami akan menempatkan mereka dam list pengalaman berharga kami? Bagaimana jika kami benar-benar bertemu kembali tapi kita tidak mengenal satu sama lain?
***
Pengalaman bukan apa yang terjadi pada Anda, tapi apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi pada Anda.
***
Sumber:

http://www.bukupaket.com/2015/12/materi-pelajaran-bahasa-indonesia-kelas_2.html

http://www.bukupaket.com/2016/03/rangkuman-materi-ips-kelas-4-sdmi.html