ada sebuah event di sekolah saya yang mengharuskan saya membuat cerpen. dan ini adalah cerpen yang saya buat tempo hari. bertema pendidikan, semoga dapat menjadi referensi dan menghibur kalian.
selamat membaca!
Dua Minggu
“Pada lihat berita nggak?”
“enggak”
“enggak. Berita apaan?”
Lalu kelas kembali gaduh, tidak memedulikan
pertanyaanku.
“Hoii!!” aku berseru, meminta perhatian.
“apa sih
Ray? Berisik banget”
“Ini penting, kalian seriusan nggak update
berita dari pemerintah akhir-akhir ini?”
“ah, palingan juga soal pemilu presiden.
Palingan juga politik”
“iya, palingan korupsi,”timpal yang lain.
Aku mengambil nafas. Harus sabar menghadapi
situasi ini.
“Hoi, dengerin ya!” aku kembali berseru.
“Iya! Apa sih? Tinggal ngomong aja!”
“Tau nggak menteri pendidikan baru meresmikan
pengumuman baru!”
“nggak tau lah, nggak penting”
“Ini penting!!” aku gemas, mereka sama sekali
nggak tertarik.
“apaan?”
“Ini tentang PENGHAPUSAN STUDY TOUR UNTUK
SMA!”
Lalu hening. Aku sengaja menekankan kata
‘penghapusan study tour itu’ keras-keras. Benar saja, mereka langsung terdiam.
“Alah, palingan si Raya Cuma ngerjain kita,”
celetuk salah seorang temanku, Aldi.
“eh, kamu nggak percaya?” aku membuka hape,
membuka situs berita, lalu menyodorkannya,”nih, lihat nih!”
“apa keyword
nya Ray?” beberapa teman mengambil hape mereka.
“tulis aja’ penghapusan study tour untuk SMA’
pasti keluar banyak”
Kelas gaduh, tapi bukan gaduh seperti tadi.
Gaduh kali ini lebih dipenuhi karena umpatan-umpatan.
“Masa study tour kita diganti wisata
liburan?!”
“Hah??? Kita bakal ngajar?”
“kayak KKN dong?”
“Aku udah beli baju buat study tour!”
“Akh!! Ini nggak berguna banget!”
“Dikira kita nggak butuh piknik apa??”
“Egois banget menterinya! Gara-gara masalah
sekelompok orang aja imbasnya ke kita-kita!”
Aku hanya tersenyum mendengar semua umpatan
teman-temanku. Habisnya, aku sudah puas mengumpat-ngumpat tadi malam. Siapa
juga yang setuju tentang pergantian study tour
menjadi wisata liburan?
“HEY TEMAN-TEMAN DENGERIN, tapi disini
disebutkan bahwa program ini akan dilaksanakan secara serentak MULAI TAHUN
DEPAN. Jadi kita aman nih, hahaha!!!” Dela, berdiri dan tertawa keras sambil
membacakan sebuah cuplikan artikel di hapenya.
“Del, tapi masih ada kelanjutannya kan?” aku
mengingatkan. Aku mengenal kata-kata itu. Aku sudah membacanya tadi malam.
“eh iya nih. HAH?? ?” Dela berseru panic.
Tawanya hilang.
“apa Del? Bacain!”
“Tapi ada sekolah yang ditunjuk untuk
melaksanakan program ini untuk pertama kali setiap provinsi.”
“Jangan bilaangg….”
“Aaaaa Tidaakkk”
Aku tersenyum sedih. Sekolah ini memang
sering ditunjuk sebagai sekolah percobaan apalah. Dan itu menjengkelkan.
“nasib liburan kita kawan…”
***
JAKARTA—Mulai semester depan study tour dihapuskan untuk SMA - Mendikbud kembali membuat
terobosan demi memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Setelah beberapa
wacananya seperti Full Day School, Guru dilarang menggunakan LKS sampai 3 Tips Jitu Mendikbud agar
Unggul di Eranya, kini
Mendikbud memiliki wacana tentang penghapusan study tour untuk siswa Sekolah
Menengah Atas. Tentu hal ini tidak serta merta bisa diterima begitu saja,
terutama oleh para siswa. Meskipun akan mendapatkan sambutan baik dari para guru.
Penghapusan Study
tour resmi dilakukan Semester Depan. Dilansir dari news,com, ditemui di
ruangannya, Gedung A Kemendikbud, Jakarta Pusat, Pak Menteri mengatakan study
tour sekolah seharusnya bukan hanya sekedar liburan. padahal namanya
juga’study’.
Sekolah harus
bisa menyajkan pembelajaran yang mengasah mental dan moral, itulah visi
pendidikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk mengimplementasikanya, Pak
Menteri punya beberapa rencana program. Salah satunya yang terbaru adalah
rencana penghapusan study tour sekolah.
Program ini
dilatar belakangi oleh maraknya kasus kemerosotan moral para siswa terutama
terhadap guru. Ditandai dengan bnyaknya viral di dunia maya yang menampilkan
foto-foto yang tidak patut dicontoh, namun sayangnya sedang banyak terjadi di
negeri ini.
Beliau
menginginkan pendidikan moral dan sopan santun ditekankan di sekolah. Murid
tidak boleh terlalu dimanjakan. Beliau juga menuturkan bahwa akan mengisi
member pengalaman baru bagi siswa lewat program ini.
Program wisata
sekolah ini terintegrasi dengan rencana program pengembangan karakter di
sekolah yang lebih kiat kenal dengan istilah moralvalueday. Karena akan ada pendidikan
terjun langsung ke masyarakat, jadi pembelajaran bukan hanya mempelajari
materi-materi eksak.
***
Mau kami seprotes apapun, mau kami unjuk rasa
seperti masa reformasi, ngeles pada semua guru yang masuk ke kelas, keputusan
sudah nggak bisa diganggu gugat. Upacara ini, kepala sekolah mengumumkan
keputusan menteri terbaru yang akan diuji-cobakan, salah satunya di sekolah
ini. Parahnya, wisata liburan ini hanya dilakukan bagi anak kelas sebelas.
Ada sepuluh kelas di kelas sebelas. Ada
sepuluh tempat destinasi wisata liburan. tiga masih di dalam kota, tujuh ada di
desa. Dan destinasi itu diambil dengan cara undian. Bagi yang beruntung
mendapat kota, maka mereka nggak perlu menginap selama dua minggu. Dan yang di
desa, mau nggak mau harus menginap, karena jarak yang ditempuh dari kota
terlampau jauh. Menginap, kawan,dua minggu. DUA MINGGU. Di tanah orang, jauh
dari orang tua! Benar-benar wisata yang LUAR BIASA.
Aku dan teman-teman yang lain sudah mengancam
Aldi, selaku ketua kelas untuk memilih kota. Peluangnya 3/10. Ayolah, dia harus
bisa mendapat satu dari ketiganya. Dia harus beruntung!
“Aldi, bagaimana?”
Dia membuka kembali gulungannya.
Dan mengucap suatu kata yang belum
pernah kudengar.
“itu dimana?”
Aldi tersenyum sedih,”perjalanan
sekitar satu setengah jam dari sini”
Ya tuhan bagaimanalah ini.
***
“Selamat pagi!”
“Pagi buuuuu!!”
“Hei, kan udah kubilang panggil aja
kak Raya!”
“Iya kak!!”
“oke, sekarang kakak mau Tanya, tadi
kalian habis belajar apa?”
“IPAA”
“Belajar apa aja Dik?”
“Alat indraa”
“oke, sekarang pelajaran bahasa
Indonesia ya, oh ya, hari ini masuk semua?”
“Yaya nggak masuk kak!”
“Yaya kenapa?”
“sakit kak”
Aku mengangguk, menulis daftar hadir
di bukuku.
Aku mengambil kapur dan mulai
menulis judul materi di papan tulis.
“PE-NGA-LA-MAN BER-HAR-GA” Ucapku
sambil membelakangi papan tulis.
“Disini pasti punya pengalaman
berharga kan?”
Seorang anak berkuncir dua,Lea,
mengangkat tangan,”Berharga tu apa kak?”
Dimas, anak laki-laki usil yang
duduk di belakang sendiri menyeletuk keras-keras,”itu lho Le, kalau ibumu ke
pasar kan sayurnya berharga!”
Mau nggak mau aku tertawa,”itu bukan
maksudnya Dimas. Berharga itu yang selalu diingat.”
“Sayur kan selalu diingat buat makan
kak”
“maksudnya begini,” emang nggak
gampang menjelaskan kata yang sulit untuk anak kelas tiga SD. Kan aku nggak
mungkin menjawab menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia:
|
berharga
|
ber.har.ga
[v] mempunyai harga: barang antik itu ~ jutaan rupiah; (2) v berguna; bermanfaat: nasihatnya sangat ~ bagi kami; (3) v mempunyai harga tinggi; mahal harganya: kami tidak memiliki barang-barang ~; (4) a bernilai; tinggi nilainya; penting: dokumen pribadi dan surat-surat ~ lainnya dititipkannya di bank |
“nih, sini Dimas sama Lea kedepan
sama kakak”
“Ngapain kak? Nggak mau!” Dimas
melipat tangan di dada. Lea sudah maju dan berdiri di sampingku.
“Kakak mau jelasin nih”
“ah, nggak mau”
“Ayo Dim!” Lea berseru, menyuruh
Dimas maju. Dia akhirnya ke belakang dan menarik Dimas. Mau nggak mau Dimas
maju.
“coba Dimas sama Lea nyanyi bareng”
“Ha? Nyanyi? Nggak mauu” Dimas
hampir kabur ke belakang lagi, tapi segera kutahan,”Lea bisa nyanyi, aku nggak
bisa,”katanya.
“emang,”Lea menyombongkan diri.
Tiba-tiba saja Lea bernyanyi keras.
Tebak bernyanyi apa? Lagu dangdut sambil berjoget ria pula! Aku panik. Masa
anak seumuran gini udah bisa joget dangdut, wah parah, parah.
“udah, udah, Le, udah sekarang duduk
sana, duduk!”
Lea masih asyik, Dimas kabur.
Beberapa murid perempuan lain malah ikut bernyanyi. Teman-teman Dimas, ikut
memukul-mukul meja. Ya ampuuun.
“Heiii diaamm, kakak mau pelajarn
niih” aku berseru meminta perhatian.
“Kak bosen pelajaran terus, nyanyi
aja sih!” celetuk Dimas lagi.
Tiba-tiba aku mendapat ide.
“Yaudah yaudah hari ini nggak
pelajaran, tapi diem dulu”
“WOI DIEM!”
Lea dan teman-temannya kusuruh
kembali ke kursinya.
“ngapain kak?” Tanya Desi.
“Hari ini kita bikin pengalaman
berharga yuk!”
“kita mau masak kak?” Tanya seorang
anak laki-laki teman sebangku Dimas, Ito.
“Loh, kok masak?” aku malah jadi
bingung sendiri.
“Kan Dimas bilang kalau berharga itu
kayak sayuran”
Ya ampun pemikiran macam apa itu…
aku belum meluruskannya.
“Heh bukan, pengalaman berharga itu
pengalaman yang nggak akan kita lupakan.”
“Loh nanti kalau lupa gimana”
“berarti itu bukan pengalaman
berharga”
“contohnya kak?”
Aku tersenyum menang. Mereka
ternyata aslinya memang antusias. Lagaknya saja nggak mau belajar.
“misalnya kamu dapat rangking satu
pas pembagian rapot, terus diajak orangtua liburan ke pantai.”
“oooh gitu…”koor anak-anak kelas.
“iya. Ada yang mau cerita pengalaman
berhar—“ aku belum menyelesaikan kalimatku ketika Dimas berulah lagi.
“KAKAK KATANYA HARI INI NGGAK
PELAJARAN!”
Dan teriakannya itu berdampak
terhadap semua anak di kelas ini seakan mereka baru tersadarkan akan sesuatu.
Aku mengumpat dalam hati. Dimas,
ihh, sebel banget.
“Iya iya ini kan lagi njelasin
sedikit!” aku ikut memasang ekspresi seperti Dimas, menantang.
“Yaudah ayo mau ngapain kak!”
“Yaudah kalian maunya ngapain nih,”
aku menawarkannya pada mereka yang malah menjawab ingin pulang. Padahal baru
jam delapan.
“Yaudah sekarang semua berdiri terus
kedepan, baris yang rapi yaa”
Mereka semua berdiri dan maju
kedepan dan berbaris meskipun belum bisa dibilang rapi. Tapi nggakpapa sih.
“Kalau kak Raya bilang maju, kalian
mundur selangkah, kalau kak Raya bilang mundur, kalian maju selangkah. Kalau
kak Raya bilang, kanan, kalian ke kiri satu langkah. Kalau kak Raya bilang
kiri, berarti kalian kekanan satu langkah”
“oh berarti kalau maju jadi mundur,
mundur jadi maju, kanan jadi kiri, kiri jadi kanan?”
“seratus! Betul! Siap?”
Aku tau permainan ini sulit, bahkan
untuk anak seumuranku. Kami pernah mencobanya dan gagal. Tapi pasti
menyenangkan buat mereka.
Aku mengeluarkan hape dari saku dan
menyetel video.
“Siap? Satu..dua..tiga.. MAJU MAJU
MUNDUR”
“he mundur jangan maju”
“he maju”
“awas awas”
Baru pertama kali mereka sudah
saling bertabrakan. Aku tertawa ngakak sendirian sambil memvideo.
Ini akan jadi pengalaman berharga
untukku.
***
Sudah hari keenam,alias hari sabtu
wisata liburan kami di desa yang jauh. Kami memang menolak mati-matian pada
awalnya. Kami disuruh mengajar kelas
satu hingga empat. Aku kebagian kelas tiga dan empat, pelajaran Bahasa
Indonesia. Kami tidak suka, tapi kami membawa nama sekolah. Kan tidak mungkin
kami tidak menyunggingkan senyum pada penduduk desa dan anak-anak. Terlebih
mereka menyambut kami dengan sangat baik. Kami tinggal di rumah-rumah penduduk.
Satu rumah maksimal dua anak. Aku tinggal bersama Dela. Kami juga mencuci
pakaian sendiri.
Sekali lagi, kami benar-benar
keberatan dengan ini semua. Ada yang tidak pernah mencuci, harus mencuci
sendiri. Itu berat. Tapi sekali lagi aku tekankan, kami membawa nama sekolah
dan keluarga. Kami harus berbuat baik.
Setiap pulang sekolah kami berkumpul
dengan para guru dan melaporkan hasil mengajar. Lalu setelah itu kami juga
berkumpul untuk menumpahkan keluh kesah kami mengajar dan hidup disini.
Aku bersyukur tidak mengajar anak
kelas satu. Teman satu tempat tinggalku, Dela menangis di hari pertamanya
karena tidak kuat. Katanya bersik banget dan nggak bisa diatur. Hari-hari
selanjutnya pun sama, selalu ada anak yang menangis. Anak kelas tiga dan empat
membuat pening dengan cara yang berbeda. Aku paling hafal pada Dimas. Dia
sering mengganggu jalannya pelajaran dengan nyeletuk yang aneh-aneh. Yang
membuatku kadang malah terbawa penjelasan yang menyimpang dari pelajaran. Aku
pernah bertanya pada guru asli SD ini tentang kelakuan anak muridnya. Kata
beliau, mereka tidak separah ini biasanya. Munurutku, mereka berani melunjak
pada kami karena kami masih muda, tidak seperti para guru yang lain.
Meski begitu, kami juga tidak bisa
memungkiri kalau disini benar-benar menyenangkan. Tidak seperti di kota yang
tidak ada sawah. Pernah beberapa hari yang lalu, aku dan beberapa teman diculik
Dimas dan teman-teman untuk pergi ke curug. Kebetulan desa ini juga ada di
lereng gunung. Pemandangan gunung di pagi dan sore hari benar-benar menyehatkan
mata yang telah terlalu lama terpapar radiasi hape.
Sekarang aku sedang menikmati waktu
menganggurku. Sudah tidak ada jadwalku mengajar hari ini.sekarang baru jam
Sembilan dan sekolah pulag jam sebelas. Sementara teman-temanku yang juga
sedang menganggur, yang biasanya berjajar di salah satu sudut, tidak terlihat
dimanapun. Jadinya aku duduk sendirian memandangi jajaran kelas yang sepi.
“Ray, anak kelas empat pada kemana
sih?” Fera tiba-tiba menepuk bahuku.
“Nggak tau loh,”
“lagi pelajaran olahraga. Si Aldi
kemana sih? Udah ngaret sepuluh menit”dia melirik jam.
“Bentar lagi kali Fer, tunggu sini
aja”
“Yey aku sampe duluuan!” seorang
anak kelas empat berseragam olahraga berlari ke lapangan, melewatiku, tapi
kemudian menoleh dan menyapaku,”kak Raya! Kak Fera!”
Aku melambaikan tangan,”hei! Habis
olahraga?” aku lupa nama anak ini.
Dia mengangguk.
“olahraganya ngapain?” Tanya Fera
“Tadi jalan-jalan doang terus
disuruh cepet-cepetan sampe sekolah”
“jalan-jalan doang?”
“iya”
Wah Aldi enak banget dia ngajar Cuma
jalan-jalan doang.
Datang segerombol anak beserta Aldi
disana.
“udah ya, kalian bisa balik ke
kelas. Kayaknya udah ditunggu kak Fera tuh”
“iya yuk, masuk yuk!”
Setelah anak-anak dan Fera masuk,
Aldi duduk di sebelahku.
“Ngapain aja sih? Kayaknya cape
banget. Padahal Cuma jalan-jalan doang”
Aldi kelihatan tidak terima,”doang
heh? Doang? Kamu bilang doang?”
Aku mengangkat bahu,”tadi kata salah
satu anak Cuma jalan jalan doang”
Dia mengambil nafas panjang,
terlihat lelah,”iya sih jalan-jalan doing bagi mereka. Tapi aku rasanya kayak
lagi nangkepin capung”
“hah?” aku gagal paham. Pengandaiannya
sangat tidak nyambung.
“maksudnya mereka itu lari-lari
terus nggak mau baris. Kalau hilang kan aku yang tanggung jawab. Semakin mereka
disuruh baris, semakin hancur barisannya. Kan stress”
Aku tertawa,”hahaha, nikmatin aja
kali. Cuma sekali kayak gini”
“iya sih”
“Oya Ray, udah tau tentang
perpisahannya kita belum?”
“perpisahan? Soal bikin
pertunjukan?”
“Iya. Berarti kamu udah tau. “
“Aku Cuma tau tentang ada
pertunjukan. Nggak tau mau ngapain aja.”
“Yaudah nanti pulang sekolah kita
ada kumpul buat bikin pertunjukannya”
“oke”
***
Hari minggu pagi, segerombolan anak
sudah menerorku. Dirumah yang aku dan Dela tinggali, ada seorang anak kelas
empat bernama Lala, yang telah menggedor-gedor pintu kamarku sejak pagi-pagi
sekali. Rupanya mereka, sekitar sepuluh anak,yang didalamnya ada gengnya Dimas
mengajak kami ke curug lagi. Dari tiga puluh enam teman sekelasku, hanya
duabelas anak yang mau ikut, sisanya lebih memilih tidur menghilangkan penat.
“Mau ke curug mana sih?” tanyaku.
Mereka menyebut satu nama curug.
Bukan curug yang pernah aku datangi tempo hari.
“disini curugnya banyak ya?”
komentar Dela.
“iya kak, ada tiga.”
Jalan ke sebuah curug memang tidak
pernah mudah. Beberapa kali aku terpeleset melewati jalan setapak yang masih
basah karena embun. Aku memilih tidak lagi memikirkan baju yang sudah kotor
terkena licak lumpur.
“Nah udah sampai kaak!”
Kami lalu disuguhkan pemandangan
sebuah curug dengan sumber air yang tidak terlalu tinggi namun terlihat menggiurkan
untuk membiarkan tubuhmu diguyur air dibawahnya.
“tunggu apa lagi?” para anak
laki-laki langsung melepas kaus dan melompat. Kami, yang perempuan, memilih
foto dahulu.
“Kak, ayo turun kak, kak Rayaa!”
Aku mendengar namaku dipanggil.
“apa? Kenapa manggil aku?”
“sini coba kak, airnya dingin!” seru
Dimas.
“oke, oke aku kesitu” aku
mencelupkan kakiku ke air dan langsung sampai lutut. Dingin memenuhi
kakiku,”dingin banget heeii”
Dimas malah kurang ajar menciprati
dengan air. Tapi ini sungguhan dingin pake banget. Kami kepagian ke curugnya
deh.
Setelah sekitar satu jam bermain
disana, kami mengeringkan badan kami dengan duduk-duduk di pinggiran.
Hening,dan tenggelam dengan pikiran
masing-masing. Namun keheningan itu terpecah karena celetukan Dimas.
“Kakak kakaknya Cuma sebentar ya,
disininya?” entah kenapa nadanya terdengar sedih.
Aldi menjawabnya dengan
candaan,”iya. Soalnya kita kan masih harus sekolah”
“Masih sekolah kok udah jadi guru?”
“Yaa.. kan kepingin aja”
“Alah kak Aldi bohong kalau
kepingin. Padahal kalau ngajar sukanya sambil marah-marah dulu. Kakak-kakak
yang lain juga. Kak Raya apalagi, ngajar malah nyuruh maju mundur nggak jelas”
Aku menimpuk Dimas pakairemasan
daun. Kata-kata ‘maju-mundur nggak jelas’ itu ambigu alias bermakna tidak
jelas. Enak aja, padahal waktu main itu dia yang paling keras ketawanya.
“Raya mah emang suka gitu. Maafin
teman kakak ya,”Dela juga malah ikut-ikutan Dimas, kurang ajar.
“Alah tapi palingan kamu juga seneng
diajar aku Dim,” aku membalas.
“hehehe, iya sih, asik. Nggak kayak
bu guru”katanya meringis.
“Kakak kakak perginya kapan sih?”
“masih minggu depan kok”
“kok sebentar?”
“kan harus sekolah kayak kalian”
“kakak disini aja ngajar kita”
“iya kakak gantiin bu guru”
Ada perasaan sedih saat mendengar
itu. Kulihat wajah teman-temanku. Mereka sepertinya merasakan hal yang sama.
Ternyata wisata liburan ini nggak seburuk yang kami kira kok. Walaupun baru
seminggu disini, rasanya kami sudah saling berteman lama dengan anak-anak.
Diam-diam aku menyesal mengapa dulu aku mengumpat-ngumpat peraturan menteri
pendidikan ini. Sekarang, aku meyarankan kegiatan ini memang diterapkan.
“Kak, mau ada acara perpisahan ya?”
celetuk seorang anak.
Oh, sebentar lagi perpisahan.
***
“Yakin nih, Dimas mau baca puisi?”
aku agak tidak yakin setelah Dimas mengangkat tangan ketika kutawarkan siapa
yang ingin baca puisi.
“Yakin lah kak”
Aku menyeringai,”apa kamu bisa baca
puisi?”
Dimas memasang ekspresi menantang,
seperti biasanya,”bisalah. Kakak ini ya, ngece banget. Guru kan nggak boleh
gitu”
“iya, iya Dim, habis kamu
tampang-tampang bukan pembaca puisi sih, hehehe”
“Kak Raya sih emang gitu
orangnya,”dia ngambek.
“Yaudah sini kakak kasih puisinya.
Dihafalkan ya”
Dimas menerima selembar kertas yang
kuserahkan. Dia mengernyit.
“Kak Raya,”
“iya, kenapa Dim?”
Dia nyengir,”ajari bacanya”
“Yeee, tadi katanya bisa baca
puisi?”
“Ya bisa kalau puisi yang di buku
paket bahasa Indonesia itu. Ini susah”
“iya, sini kakak ajarin.” Aku jelas
akan mengajari Dimas. Tadi itu hanya untuk mengetes aja. Puisi itu emang berat.
Karya pujangga besar Indonesia.
“ekhem,,,ekhem..”aku berdehem.
“ih kak Raya sok-sokan” cibir Dimas.
“biarin,” aku mengambil nafas,
persiapan membaca puisi,
” ATAS
KEMERDEKAAN
Oleh : Supardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah”
Oleh : Supardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah”
Satu kelas malah bertepuk tangan,
aku jadi malu. Ada Ava dab Retha yang sedang mengurus paduan suara, ikut
bertepuk tangan.
“wuih, Raya ternyata punya bakat
terpendam jadi pujangga!” kata Ava.
“ahahaha, nggak usah ngaco kalian”
Sementara itu Dimas menatapku,”masa
bacanya kayak gitu kak?”
“ya iyalah, mau gimana?”
“susah kayaknya”
“ya makanya ayo latihan sama kakak”
Rencananya, anak kelas tiga akan
membuat paduan suara yang juga diiringi pembacaan puisi. Puisnya nggak Cuma
satu.
“oh ya, satu lagi nih, siapa yang
mau baca puisi lagi?”
“aku kak!”seorang anak perempuan,
namanya Yanti berlari ke arahku.
“mau baca puisi?”
“iya kak,”
“ini, dihafalin ya,” aku menyerahkan
selembar kertas.
“kak, dicontohin dulu kayak tadi
nyontohin Dimas”
aku nyengir. Puisi ini juga nggak
gampang sih, harus dicontohin.
“wuih, pujangga kita mau beraksi nih” celetuk Retha.
“ih, udah sana Tha, urus anak-anak
padusmu aja”
Aku mengambil nafas lagi,
bersiap-siap,
”
KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
oleh: Taufiq Ismail
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971”
oleh: Taufiq Ismail
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971”
Aku mengambil nafas, dan kusadari
ternyata kelas menjadi hening. Yanti melongo, begitu juga murid yang lain.
Bahkan Retha dan Ava menghentikan aktivitas melatih paduan suara mereka.
“hei, kok diem? Kagum banget sama
aku ?” aku tertawa, lebih untuk menutupi malu.
“bukan.. bukan kagum,”Ava mendekat,
merebut kertas puisi yang kupegang.
“Kamu nyuruh dia baca puisi
sepanjang ini? Yang bener aja Ray? Kamu aja ngos-ngosan gitu?”
“engg.. kepanjangan ya?” aku
mengutak-atik tumpukan kertasku di meja. Siapa tahu ada puisi lagi.
“nih, ada puisi lagi. Gimana kalau
yang ini? Kakak bacain dulu, nanti kamu milih ya Yan,”
Yanti mengangguk setuju.
“Selamat
Pagi Indonesia
Karya: Sapardi Djoko Damono
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
Yang ini lebih pendek sih, gimana?”
Yanti terlihat bimbang, tapi mau bagaimana
lagi. Puisi yang cocok hanya itu. Kan keren anak SD sudah bisa membaca sastra.
“Yanti mau yang kedua aja kak”
“apa mau tukeran sama Dimas?”
Dimas langsung mendekap kertas uisinya
erat-erat,”nggak mau! Punyaku lebih pendek! Itu susah!”
“enggak kak, yang ini aja,”Yanti mengambil
kertas puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ dari tanganku.
“oke, kita latihan yuk,”
***
Seminggu terakhir wisata liburan kami menjadi
lebih sibuk karena harus mempersiapkan pertunjukan akbar. Pertunjukan ini kami
persembahkan untuk para guru dari sekolah dasar ini, warga desa, dan juga
pembuktian pada guru-guru dan orangtua kami. Orangtua kami memang tidak datang,
tapi kata guruku, mereka akan mendapat sebuah rekaman kehidupan dua minggu
kami. Entahlah, aku bahkan tidak pernah melihat kegiatan kami didokumentasi.
Rombongan dari kota baru saja datang. Mereka
membeli dan mengambil alat-alat dan apa saja yang dibutuhkan untuk pertunjukan
ini. Guru-guru hanya memberikan satu kali kesempatan ke kota, sisanya kami
harus manfaatkan apa saja yang ada di desa ini.
Pertunjukan akbar akan digelar di lapangan
sekolah. Tidak ada panggung yang biasa kami pakai ketika event-event besar di SMA. Yang ada hanya panggung dari meja-meja
yang ditata. Bahkan untuk mendirikan backgroundnya, kami hanya menopang kain
hitam besar dengan bambu.
Tema yang akan kami usung dalam acara ini
adalah “Indonesia Jaya”. Kelas satu sebagai penampilan pertama, akan
menyanyikan lagu-lagu daerah bersamaan anak kelas dua yang menarikan tarian
daerah sesuai lagunya. Penampilan kedua adalah drama singkat tentang pengusiran
penjajah oleh anak kelas empat. Dilanjutkan drama singkat tentang sesudah
Indonesia merdeka oleh anak kelas lima, lalu drama singkat gambaran anak muda
sekarang oleh anak kelas enam. Penutup dari kisah itu adalah paduan suara dan
pembacaan puisi oleh anak kelas tiga. Kami juga membuat sebuah film documenter
tentang wisata liburan kelas kami yang akan ditampilkan di penghujung acara.
Oke ini rumit. Tapi kami membuatnya secara sederhana. Tentang bagian penjajahan
dan proklamasi, kami harus meminta bantuan anak kelas lima dan enam yang sudah
mengerti. Selain itu, semuanya terkendali.
Kostum-kostum yang akan kami pakai juga
sederhana. Juga propertinya. Tapi itu semua akan dapat diatasi.
“Ray, Ray, sini buatin graffiti,”
“Anak laki aja, lebih bisa dari aku”
“anak laki sibuk!” seorang teman laki-lakiku,
sengaja berseru dari kejauhan. Aku menoleh kearah mereka yang sedang
beramai-ramai memotong bambu.
“Gambarmu juga bagus kok Ray,”
“Yaudah deh,” aku menyerah, mengambil pensil
yang disodorkan Retha lalu mulai enggoreskannya di kertas asturo kuning.
“RAYAAA… HUHUHU…RAYA…”tiba-tiba ada yang
memelukku dari belakang sambil berpura-pura menangis.
“Kenapa sih Del?”
“Nih ya, aku bokek, huhuhu…”
“Lah, kok bisa?”
“jadi tadi si muti kan nangis, terus aku
belikan permen lolipop. Lihat Muti dibelikan permen, anak-anak yang lain nangis
juga pada minta permen. Anak kelas dua juga ikut-ikutan ngerengek-rengek minta
dibelikan permen. Mereka ngancam nggak mau latihan lagi. Yaudah aku beliin
permen lollipop semua. Tiga puluh ribuku! Aku abis uangnya Ray, huhuhu”
Muti itu anak kelas satu yang centilnya tidak
kira-kira dan cengengnya minta ampun. Aku pernah meladeni anak itu menangis
dari jam pertama sampai pulang sekolah. Disuruh pulang tidak mau, disuruh masuk
kelas juga tidak mau, maunya dipangku sama aku. Sungguh itu nggak nahan banget.
Aku jadi kasihan sama Dela, dia jadi penanggungjawab tim lagu daerah anak kelas
satu.
Tapi, aku juga meertawakannya,”untung aku
bukan sama anak-anak kelas satu Del, setres kali aku”
“udah ah, udah ah” Dela berdiri,”aku mau
ngelatih lagi. Nanti aku pinjam uangmu ya Ray”
“iyaaa,”
Lagi-lagi, kegiatanku untuk fokus menggambar
graffiti harus tertunda.
“Woi kak Raya!!!”
Aku tahu panggilan agak kurang sopan itu.
Siapa lagi kalau bukan Dimas.
“Kenapa Dim?” aku balas berteriak.
“Kakak ngajarin malah nggambar! Kak,
ajarin!!”
Kadang aku berfikir untuk mengajarinya
sedikit sopan santun.
“Iya bentar!” aku meletakkan
pensil,”teman-teman, kayaknya aku emang nggak ditakdirkan buat menggambar
graffiti. Aku mau ngelatih puisi dulu yak, babay!”
***
Seminggu kemudian, pertunjukan akbar dibilang
lancer. Aku justru kagum dengan Dimas yang membaca puisi dengan indah. Acara
ini juga berhasil membuat para guru SD, dan guru kami menangis. Meski akhirnya
aku dan yang lain benar-benar menangis ketika bis yang menjemput kami sudah
datang.
Setelah tiga minggu beristirahat, kami
kembali bersekolah. Akun-akun media sosial yang dimiliki anak kelas sebelas
ramai memamerkan foto-foto hasil wisata liburan. ternyata semua kelas sama, se
malas-malasnya mereka menjalankan kehidupan asingnya, mereka—ah bukan, kami,
tetap tidak bisa memungkiri bahwa wisata liburan pengganti study tour
benar-benar asik.
Aku sendiri paling dekat dengan Dimas
ketimbang anak-anak lain di desa itu. Selain Dimas benar-benar tidak sopan
terhadapku, dia juga menangis waktu aku berpamitan padanya. Aku memberinya
sebuah gantungan kunci yang biasa aku pakai di tasku kepadanya. Dia juga
memberiku surat. Isinya lucu sekali.
Pada hari apel pertama siswa kelas sebelas masuk sekolah,
kepala sekolah mengucapkan terimakasih pada kita. Program percobaan wisata
liburan sekolah kami berjalan sukses. Tidak ada kelas yang menyerah menjalankan
ini. Kami pun dibagikan kaset berisi video kegiatan kami untuk diserahkan
kepada orangtua. Ketika aku menontonnya, aku benar-benar terkejut. Isi video
itu bertokoh utama aku! Fokusnya pada kegiatanku. Aku sungguh tidak pernah tahu
bahwa akan kegiatanku selama itu terekam oleh kamer. Siapa yang merekamnya?
Hanya Tuhan dan para guru yang tahu. Mereka keren bkisa memvideo setiap anak
tanpa kami sadari.
Aku dan teman-teman kelas pun telah berencana
akan main ke desa itu sehabis ujian kenaikan kelas. Aku tidak sabar untuk itu.
***
JAKARTA—Percobaan Peraturan terbaru yang
diputuskan uleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Wisata Liburan
baru saja usai. Para siswa ‘dilepas’ ke lingkungan asing hanya bersama
teman-teman dan guru, untuk bersosialisasi kepada masyarakat selama dua minggu.
Mereka harus mengajar anak-anak sekolah, dan mempersembahkan sebuah karya di
akhir.
Respon masyarakat untuk kegiatan ini
berbeda-beda. Ada yang benar-benar senang didatangi oleh anak-anak SMA dari
kota, ada juga yang merasa terganggu.
“Kami akan terus memperbaiki sistem wisata
liburan untuk tahun depan,”kata Menteri Pendidikan untuk menanggapi pernyataan
tentang desa yang ‘malah’ terganggu dengan kedatangan anak-anak SMA itu.
“Program wisata Liburan ini akan tetap
dilaksanakan tahun depan, walaupun masih dalam fase percobaan tahap kedua. Kami
akan merubah sistem jalannya program ini dan berharap ada peningkatan yang
signifikan baik pada warga desa yang ditempati, maupun pada para siswa yang
menempati”
Sebanyak 18 sekolah dari 60 sekolah yang
mengalami percobaan program, dinyatakan gagal. 5 dari 18 sekolah yang gagal,
merupakan sekolah-sekolah favorit di ibukota. Para siswa kebanyakan menyerah
dan kabur kerumahnya sebelum waktu tenggat berakhir. Warga desa juga protes
tentang perilaku anak-anak yang tidak sesuai dengan kebiasaan penduduk.
“Ternyata murid dari sekolah favorit di ibukota pun kesulitan
bersosialisai. Ini menjadi pr kita semua.”ucap Menteri Pendidikan.
Sementara hasil paling memuaskan didapatkan
dari sekolah-sekolah percobaan program wisata liburan dari Jawa Tengah. Siswa
dan warga desa memiliki ikatan yang kuat walauun belum saling mengenal.
Ketika ditanyai mengapa ikatan diantara
mereka begitu erat, jawaban salah satu siswa yang diwawancarai sangat
menakjubkan,”kami sama-sama orang Jawa, suku Jawa. Lantas apa yang membuat kami
berbeda dengan warga desa? Karena kami warga kota? Ya, itu perbedaan. Tapi
perbedaan itu tidak membuat kami merasa berbeda. Penduduk desa menyambut kami,
kami,awalnya terpaksa juga menyambut baik mereka, karena nama kami, nama sekolah
ini, dan harga diri kami sebagai pemuda dipertaruhkan. Itulah yang membuat kami
bisa membuat sebuah ikatan tak kasat mata dengan mereka,”kata seorang siswa
dari ibukota Jawa tengah.
Ketika ditanya bagaimana pendapat tentang
program ini,ia menjawab,”tentu program ini masih harus terus dilakukan,aku
bahkan ingin ikut lagi,”katanya sambil tertawa.
Kami juga mewawancarai salah satu penduduk
desa yang sukses bersama Program ini,”mereka sopan sekali. Mereka juga akrab
dengan anak-anak kami”
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga
menegaskan, walaupun masih ada kegagalan, pengkajian ulang dan percobaan kedua
Program wisata liburan akan dilakukan.
***
Aku sedang asyik menonton video di aplikasi
youtube. Seharusnya aku mencari tugas sekolah, namun malah terlenakan oleh
aplikasi itu. Aku iseng mengetik percobaan wisata liburan dan disana muncul
berpuluh-puluh video. Ada video sekolah kami tenting. Aku juga meninton video
dari sekolah-sekolah lain. Dan itu malah mengingatkanku pada murid sekaligus
teman-teman kecilku di desa.
“eh apa ini?”
Atas
kemerdekaan, puisi untuk negeri
Pada tampilannya, ada orang yang tidak asing.
Aku pun mengkliknya.
” ATAS
KEMERDEKAAN
Oleh : Supardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Oleh : Supardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Puisi ini diajarkan sama kakak kakak
yang pernah ke desa kami. Namanya kak Raya. Hai kak! Lihat kami di youtube!”
Ya ampun itu Dimas dan beberapa
temannya! Siapa yang mengunggahnya? Aku tidak tahu, mungkin kakaknya Dimas atau
orang lain, tapi namaku benar-benar disebutkan!
Kalau begini aku malah jadi tidak bisa move on dari pengalaman wisata liburan itu.
“kak Raya, nih gantungan kuncinya!
Udah jelek masih dikasihkan ke orang!”
Tuh kan,bahkan divideo itu dia masih
sempat-sempatnya tidak sopan terhadapku.
“apa ini kak Raya bakal ngelihat?”
tanyanya pada seseorang dibalik kamera.
“lihat lah” kata sebuah suara.
“beneran, yaudah dadaaad, dadaah”
Dimas dan beberapa anak kelas tiga beramai-ramai melambaikan tangan. Sementara
aku disini malah terharu. Apa kami bisa bertemu lagi? Di kesempatan yang
berbeda? Apakah mereka akan mengingat kami sebagai pengalaman yang berharga? Ah
tidak, apakah kami akan menempatkan mereka dam list pengalaman berharga kami? Bagaimana jika kami benar-benar
bertemu kembali tapi kita tidak mengenal satu sama lain?
***
Pengalaman bukan apa yang terjadi
pada Anda, tapi apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi pada Anda.
***
Sumber:
http://www.bukupaket.com/2015/12/materi-pelajaran-bahasa-indonesia-kelas_2.html
http://www.bukupaket.com/2016/03/rangkuman-materi-ips-kelas-4-sdmi.html